Sabtu, 21 Maret 2009

Membaca Jalan Pikiran Gus Dur

Oleh M Fuad Riyadi

Sungguh disayangkan Muhaimin Iskandar, politisi muda berbakat luar biasa itu, akhirnya memilih langkah menuju ketidakjelasan karier politiknya. Pekan-pekan terakhir ini, dia mengulangi kekeliruan yang telah “dicontohkan” Mathori Abdul Jalil dan Alwi Shihab; melawan Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) di jagad PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Seperti biasanya, Gus Dur “dengan seenaknya” dan over PD (percaya diri) bilang, perlawanan Muhaimin hanya sia-sia. “Seperti yang sudah-sudah, nanti saya yang menang (lagi)”, demikian pernyataan Gus Dur kurang lebihnya.
Muhaimin tak bisa disamakan dengan Saifulloh Yusuf atau Choirul Anam. Meski sama-sama melawan Gus Dur, Saiful “tidak habis” karier politiknya. Choirul malah jadi ketua PKNU (Partai Kebangkitan Nasional Ulama, sebuah nama partai yang kurang sedap bunyinya didengar telinga, gara-gara mengejar singkatan “NU”) yang siap-siap “mempecundangi” PKB pada pemilu mendatang. Memang, seperti Saifulloh dan Choirul Anam, Muhaimin juga dibela sejumlah kiai. Bedanya, Saifulloh dan Choirul Anam dibela banyak kiai kharismatik seperti dari poros Langitan yang di luar jangkauan bayang-bayang Gus Dur (Gus Dur saja dulu menyebut mereka kiai khos untuk menunjukkan penghormatan luar biasa), sementara Muhaimin hanya didukung sejumlah kiai yang (masih) tergabung dalam jajaran dewan pimpinan PKB: barisan kiai yang masih di bawah bayang-bayang Gus Dur alias kalah awu.
Tuduhan klasik Gus Dur bahwa Muhaimin diperalat SBY, boleh saja dianggap angin sepi dan ngawur oleh Andi Malarangeng (jubir SBY). Paling tidak, kepastian PKB sebagai salah satu partai peserta Pemilu 2009 dengan adanya konflik internal tersebut menjadi terhambat. Tuduhan Fachri Ali bahwa Gus Dur menerapkan politik patron di PKB –siapa pun kalau tidak mau menempatkan Gus Dur sebagai bos pasti dibuang-, boleh saja membesarkan hati Muhaimin dan kawan-kawannya. Namun, beberapa catatan berikut ini tak ada salahnya untuk dipertimbangkan.
Dulu, Mathori ditendang Gus Dur sebelum diangkat menjadi Menteri Pertahanan oleh Megawati. Tuduhan serupa juga pernah dilayangkan Gus Dur kepada Alwi Shihab. Ujung-ujungnya, Alwi kini diangkat menjadi duta besar setelah keok berebut PKB. Ketika Gus Dur menuduh KPU sarang maling dan diperalat oleh salah satu kandidat calon presiden, orang mengira tuduhan itu asbun alias asal bunyi dan semata-mata karena Gus Dur kagol tidak diloloskan KPU sebagai salah satu calon presiden periode 2005-2009. Belakangan, Hamid Awaludin (salah satu anggota KPU) jadi menteri hukum dan perundang-undangan(?). Dan lebih gilanya lagi, seorang profesor doktor seperti Nazarudin Syamsudin (ketua KPU), Mulyana W Kusuma –dua tokoh yang rasa-rasanya impossible melakukan korupsi- dan beberapa anggota KPU pusat lainnya benar-benar terbukti di pengadilan sebagai “tuan rumahnya” sarang maling. Hamid Awaludin pun, terlibat atau tidak, akhirnya lengser dari kedudukan sebagai menteri hukum dan perundang-undangan.
Lebih ke belakang lagi, beberapa pekan sebelum SU MPR tahun 1999 yang menetapkan Gus Dur sebagai presiden, dia sudah bilang kepada banyak orang, salah satunya Syafii Maarif yang waktu itu ketua Muhammadiyah, bahwa dia akan jadi presiden.

Politik Patron
Memang, dalam Piala Dunia tahun 2002 di Korea Selatan, Gus Dur memprediksikan final akan terjadi antara kesebelasan Korea Selatan lawan Turki. Ternyata, justru Jerman dan Brasil yang maju ke final. Tapi, harap dicatat, (1) Gus Dur tidak menyaksikan pertandingan sepakbola dengan matanya sendiri, hanya lewat telinga, karena waktu itu Gus Dur sudah mengalami kebutaan, (2) banyak pakar bola juga sependapat dengan prediksi Gus Dur.
Kini, soal politik patron seperti sinyalemen Fahri Ali. Perlu dipertimbangkan beberapa kalimat pertanyaan dan kemungkinan jawaban berikut ini: lebih populer mana antara PKB (bahkan NU sekalipun) dibandingkan Gus Dur? Kemungkinan jawabannya; Gus Dur. Untuk saat ini, bisakah PKB tanpa Gus Dur? Kemungkinan jawabannya; sulit. Bisakah Gus Dur meneruskan sepakterjang di dunia politik tanpa PKB? Jawabnya; bisa. Di antara politisi PKB lainnya, sudah adakah sosok yang bisa mengimbangi atau melebihi Gus Dur dari segi popularitas, intuisi, kharisma, kecerdasan, pengaruh dan pengalaman di dunia politik? Jawabnya; belum. Muhaimin, seperti Mathori, Alwi, Saifulloh, dan Choirul Anam, belum kelasnya melawan Gus Dur. Ibarat kesebelasan anggota divisi II PSSI bertanding melawan tim inti Manchester United! Seumpama Cris Jon melawan Mike Tyson!
Politik patron yang terjadi secara alamiah di PKB hanya menunjukkan bahwa politisi PKB masih harus banyak belajar dan bersabar menunggu waktu hingga mereka setidak-tidaknya bisa sekelas dengan Gus Dur. Benar nasehat Effendi Choiri, salah seorang politisi PKB seangkatan Muhaimin, kalau Muhaimin mau manut Gus Dur yang memang sejak awal adalah guru sekaligus bapak ideologisnya, dia selamat. Bisa jadi Muhaiminlah yang paling layak sebagai calon pewaris tahta Gus Dur di PKB. Tapi, kalau membangkang seperti sekarang? “Saya yang menang (lagi), Kang!”, begitu kira-kira Gus Dur bilang.
Namun itulah yang namanya politik. Pagi kedelai sore sudah bisa menjadi tempe atau tahu atau apalagi bentuknya, terserah sang aktor yang kuat posisinya. Yang jelas dunia politik tak ada yang pasti!

Penulis adalah Pengasuh
PP Roudlotul Fatihah, Kaki Gunung Sentono, Plered, Bantul