Sabtu, 21 Maret 2009

Lagi-lagi Ulah Hasyim Muzadi membawa NU kian Terpuruk. Jatim Terbentur, NU Babak Belur


R Ferdian Andi R

INILAH.COM, Jakarta – Kontroversi Pemilihan Gubernur Jawa Timur segera berakhir melalui putusan Mahkamah Konstitusi yang diumumkan Selasa (2/12). Siapa pun yang akan diumumkan sebagai pasangan pemenang, Nahdlatul Ulama tetap menjadi pihak yang menanggung kerugian. Mengapa?

Secara institusi (jami’yyah) maupun kultural (jamaah), selama hampir setahun ini warga nahdliyin di Jawa Timur telah terbelah-belah oleh kepentingan para elitnya. Tak hanya kepentingan elit politik, tapi juga oleh kepentingan elit pimpinan ormasnya. Inikah isyarat runtuhnya kesaktian NU di basis dan tempat kelahirannya?

Dalam pilkada Jatim beberapa waktu lalu, warga NU terbelah menjadi dua kekuatan besar, antara pemilih pasangan Soekarwo-Syaifullah Yusuf (KarSa) dan pasangan Khofifah Indar Parawansa-Mudjiono (KaJi). Bila KarSa mendapat dukungan kalangan kyai sepuh dan kharismatik, pasangan KaJi mendapat sokongan penuh NU struktural tak terkecuali Muslimat, organisasi yang dipimpin Khofifah Indar Parawansa saat ini.

Aksi saling dukung dan berebut pengaruh antarwarga NU dalam Pilkada Jatim muncul dengan gamblang ketika mereka menaggapi hasil perhitungan cepat yang memenangakan pasangan KaJi. Argumen masing-masing kelompok, baik yang mendukung KarSa dan KaJi, pun beragam.

Jika masyarakat memilih KaJi misalnya, maka gubernurnya adalah orang NU. Namun sebaliknya, jika memilih pasangan KarSa, wagubnya adalah juga orang NU. Memang, baik Syaifullah Yusuf maupun Khofifah Indar Parwansa adalah kader NU. Khofifah adalah Ketua PP Muslimat, sedangkan Syaifullah Ketua PP GP Ansor. Dua-duanya badan otonom (Banom) di bawah NU.

Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi tanpa sungkan-sungkan juga turut aktif mendukung pencalonan Khofifah sebagai cagub Jatim. Alasannya, Khofifah membidik gubernur, bukan wagub seperti Syaifullah. Sesederhana itukah?

Dalam pandangan Direktur Ekskeutif Lembaga Survei dan Kajian Nusantara (Laksnu) Gugus Joko Waskito kisruh pilkada Jatim menjadi bukti bahwa kyai NU lebih asyik menikmati ‘berkah’ dari komparador politik daripada mengurus warga NU. “NU secara struktur terlena oleh pragmatisme politik dan lebih asyik menikmati gizi para kompador politik,” kata Gugus kepada INILAH.COM, Senin (1/12) di Jakarta.

Kondisi Pilkada Jatim mengingatkan nasib NU di Pilpres 2004. Kenaikan Ketua Umum PBNU Hasyim Muzadi menjadi pasangan Megawati Soekarnoputri sebagai cawapres juga tak jauh beda dengan kondisi NU Jatim pasca Pilkada 4 November lalu. Saat Pilpres 2004, jaringan struktur NU bergerak untuk memenangkan pasangan Mega-Hasyim. Meski, lagi-lagi NU menjadi korban ambisi politik Hasyim. NU terjerumus dalam politik praktis.

Atas kondisi ini pun, Ketua Syuriyah PBNU KH Sahal Mahfudz mengungkapkan bahwa KH Hasyim Muzadi tak ubahnya sebagai Ketua Partai NU, bukan Ketua PBNU.

Padahal jika melihat kondisi obyektif NU di Jawa Timur saat ini, petani sedang sulit-sulitnya mencari pupuk. Para buruh yang mayoritas warga NU tak lama lagi terancam PHK. Para anggota muslimat NU pun tak sedikit yang mengadu nasib di negeri jiran. “Tapi elit NU kultural dan struktural diam seribu bahasa,” cetus Gugus yang juga alumnus PTIQ Jakarta.

Kondisi NU Jatim menjadi tolok ukur NU secara nasional, karena Jawa Timur adalah basis warga bintang sembilan. Pilpres 2004 dan Pilkada Jatim 2008 harus menjadi bahan renungan bagi elit NU dan warga NU.

Pragmatisme politik segelintir elit NU harusnya tak mengorbankan modal kultural yang telah dibina oleh NU sejak 82 tahun lalu. Dua momentum politik tersebut harus mampu diterjemahkan dalam Muktamar NU pada akhir 2009 dengan merombak total paradigma NU dalam politik, baik lokal maupun nasional. [P1]