Sabtu, 20 Desember 2008

Gus Dur yang saya cintai…


oleh zaky

Mungkin saya hanya sepersekian dari manusia di muka bumi ini yang mengagumi kiprah sosok mantan orang no.1 Republik Indonesia ini. Saya akan selalu mendoakan kesehatan dan keselamatan beliau walaupun dalam doa saya terselip pamrih untuk bisa mereguk ilmu dari telaga yang bernama Gus Dur terus menerus. (Pada dasarnya doa itu pamrih ya :-))

Menjadi nasionalis Indonesia, tidak barat tidak juga timur, saya dapat dari beliau, dengan tidak diikuti fanatisme absurd yang mengalahkan logika. Tuhan melahirkan saya menjadi orang Indonesia adalah sepenuhnya otoritas Tuhan yang disebut takdir, dan tak ada yang bisa memilih untuk ini. Saya yang dilahirkan oleh dua orang tua yang kebetulan muslim sejak hadir dimuka bumi, ketika Ayah mengumandangkan adzan di telinga kanan saya dan iqamah di telinga kiri saya menjadikan saya muslim sampai dengan saat ini.

Pernah terbayangkan bagaimana seandainya saya dilahirkan oleh dua orang tua yang sama sekali tidak mengenal agama.., 99 % hampir saya pastikan kemungkinan saya akan menjadi atheis. Oleh karena itu menjadi muslim buat saya bukan suatu hal yang perlu dibanggakan atau di koar-koarkan. “Muslim karena orang tua saja bangga ” begitu selalu saya bergumam.

Artinya menurut saya Tuhan telah mentakdirkan saya untuk mencari kebajikan hidup sebagai umat manusia, lewat jalan ini, lewat jalan menjadi muslim. Oleh karena itu saya berfikiran dari konsep pluralisme yang Gus Dur serukan, bahwa semua umat manusia memiliki starting point yang pada hakikatnya sama untuk mencari kebenaran, dan semua umat manusia berhak mendapat finish yang sama, imbalan yang sama atas nama surga Allah Tuhan Yang Rahiem, bergantung pada kebajikan yang diperbuatnya terhadap sesama umat manusia, tergantung pada proses perjuang mereka selama hidup untuk menciptakan lingkungan dunia yang lebih baik dan bergantung dari bagaimana ia menghadapi tiap rintangan hidup yang menghalanginya dari jalan kebenaran.

Pada dasarnya saya memendam emosi kemarahan, kepada rekan-rekan yang sesama muslim dan mengaung-gaungkan kemuslimannya secara berlebihan, sampai-sampai dengan sangat sombong mengatakan, bahwa menjadi muslim adalah menjadi benar, dan paling berhak mendapatkan surga Tuhan, selain muslim berarti tidak benar dan tidak berhak atas surga Tuhan. Kafir itu…!!!

Lagi-lagi Gus Dur mengingatkan lewat tokoh wayang Parikesit beliau mengajarkan kembali kebijakan bahwa dunia ini tidak tebentuk dari hitam putih. Konsep hitam putih, benar salah dalam kehidupan manusia sebenarnya tidak seperti itu adanya. Pandawa dan Kurawa yang melambangkan kebaikan vs keburukan menjadi putih lewat tokoh Parikesit.

Menurut Gus Dur, Pandawa adalah orang-orang yang sudah tidak punya keinginan dan kepentingan jelek.

Bagaimana dengan Kurawa?, “Kelompok Kurawa adalah orang-orang yang sedang melangkah menuju sikap seperti Pandawa itu. Maka sebenarnya dia itu bukan kalah. Kurawa berbuat macam-macam itu hanya karena belum matang jiwanya. Maka, kewajiban Pandawa adalah mengalahkan Kurawa, supaya bisa diarahkan ke jalan yang baik. Itu sebabnya ada parikesit, yang ‘netral’ berdiri di atas semua golongan. Parikesit itu bersaudara dengan Kurawa maupun Pandawa.

Jadi tidak perlu bersikap emosi sehingga hilang fikiran sehat, dan tertutup jalan untuk memecahkan masalah.

Beberapa tokoh sudah yang mengkafirkan beliau baik secara terbuka maupun tertutup.., bahkan beliau pernah mendapatkan perlakuan yang sangat tidak layak untuk seorang mantan presiden, beliau pernah di usir dalam sebuah forum, tapi toh selama ini beliau bersikap tenang-tenang saja, padahal menjadi perkara yang sangat mudah untuk membalas perlakuan itu.., namun beliau tidak melakukanya. Itu yang saya banggakan.

Tipa kali hati saya menangis jika beliau mendapat perkataan, tindakan yang tidak menyenangkan, tapi sekali lagi beliau tetap tenang .., dan demi Allah saya langsung teringat kepada manusia paling mulia yang Allah ciptakan, Muhammad “salallahu ‘alihi wa aliihi wasalam“.

Betapa hebat RasululLah tetap menjadi tenang, memberi ampunan, kepada orang-orang yang pernah menyakitinya, dan RasululLah tidak pernah sekali pun mengeluh atas perlakuan yang dialaminya ketika menyebarkan keyakinannya.

Gus Dur saya yakin sudah begitu menyatu dalam ajaran RasululLah. Dan saya percaya betul beliau begitu mengenal sosok manusia suci ini, dan saya mengenal lebih baik lagi ajaran RasululLah lewat pipa yang bernama Gus Dur.

Melalui Gus Dur lah saya menghayati arti QS 2:256 yang diturunkan kepada RasululLah tentang bagaimana berkeyakinan.

Dan tentang Yahudi & Nasrani dalam QS 2:120, Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu. Gus Dur menjelaskan dengan sangat baik yang dimaksud jangan mengikuti kemauan mereka disini adalah : kemauan mereka dalam memaksakan kehendak, merasa diri yang paling baik, sehingga tidak ada kebenaran selain kebenaran versi dirinya. Itu lah yang menurut Gus Dur yang tidak boleh di ikuti. (Interpretasi yang sangat bernilai menurut saya untuk yang satu ini)

Menjadi umat Muhammad berarti menjadi umat yang toleran, tidak memaksakan kehendak keyakinan, tidak berbangga hati menjadi yang paling benar, umat lain tidak.

Lahir sebagai orang Indonesia dengan berbagai corak warna adat istiadatnya adalah sebuah takdir yang Tuhan tentukan untuk saya, saya mensyukurinya. Dan begitu pula menjadi muslim. Sebagaimana Islam sebagai agama terkahir, adalah agama penyempurna. Penyempurna adalah melengkapi, menjadikan tambah baik, bukan berarti mengganti penuh.

Artinya yang saya pahami Islam hadir untuk menyempurnakan, untuk menjadi lebih baik hal-hal yang sudah ada sebelumnya. Indonesia dengan segala kebaikan yang sudah ditinggalkan berupa adat istiadat oleh nenek moyang kita bukan berarti diganti penuh dengan adanya Islam yang barang tentu membawa budaya baru.

Sekali lagi penyempurnaan yang artinya memperbaiki yang sudah ditinggalkan nenek moyang saya terdahulu, atau dengan kata lain memegang nilai-nilai yang masih baik oleh nenek moyang, kemudian meninggalkan nilai-nilai yang dirasa buruk. Dan menyempurnakannya dengan nilai-nilai Islam sebagaimana Islam sebagai agama terkahir, agama penyempurna. Dan saya akan tetap menjadi muslim yang lahir dari adat istiadat Indonesia.

Keberagaman yang timbul inilah yang membuktikan Allah Maha Besar. Pelukis yang besar pastilah akan menciptakan segala macam kehendak, dan tak terbatas warna. Hanya sosok yang kerdil yang menganggap hidup ini seragam, menjadi satu warna saja. Maha Suci Allah atas keberagaman ciptaanNya.

Oleh karena itu semua saya mencintai Gus Dur yang mengenalkan saya lebih dekat, lebih nyata lagi kepada Allah Tuhan Yang Rahiem & RasululLah Muhammad “salallahu ‘alaihi wa aliihi wasallam“.

Wallahu a’lam bi al-shawab.

Bandung, Hari Raya Qurban 1429 H.

Gus Dur Golput, kok pada Sewot?

Beberapa waktu lalu Gus Dur menyerukan golput. Gelombang penolakan semakin-hari kok dirasa semakin besar saja, seakan semuanya kebakaran jenggot akibat api kecil yang dilempar Gus Dur. Kenapa sih Gus Dur golput saja kok pada sewot?

Atau mungkin pada terusik kali ya… Mereka khawatir dengan tingkah Gus Dur yang melempar batu kecil saja, ombaknya begitu merembet kemana-mana. Semua kena, dan mengenai mereka. Semua angkat bicara dan merasa perlu bicara. Ini sebuah efek berlipat.

Pertama kali, dari internal PKB sendiri yang sedikit terusik, bahkan kemudian jadi berisik, kenapa Gus Dur menyerukan golput?

Awalnya, komentar mereka agak datar saja.

“saya kira itu bukan suara murni Gu Dur”, katanya.

Lama-lama, semakin berisik. Bahkan yang berisik belakangan adalah para kiyai yang menggelar bahsul masail ulama Se-Jawa timur (pada minggu 30/11). Para kiyai yang sudah sepuh-sepuh ini nyatanya juga mau diajak ‘berisik-berisik berhadiah’ oleh Muhaimin dkk. Wah, pak kiyai ini sudah mau jadi bemper untuk menandingi seruan Gus Dur rupanya.

Dari 48 kiai dan ulama yang hadir memutuskan fatwa hukum atas sejumlah masalah yang terjadi di masyarakat akhir-akhir ini dan mengeluarkan pengumuman yang tidak biasa, yaitu golongan putih (golput) dinyatakan sebagai praktik haram. (baca)

“eh, jangan itu haram hukumnya”, fatwa para kiyai itu.

“Jangan dengarkan seruan Gus Dur, itu bukan murni seruan Gus Dur kok”, sambung si kiyai lagi.

Disahut lagi.

“Pemilu adalah satu proses untuk menegakkan kekuasaan negara. Nah dalam konteks ini menjadi wajib hukumnya bagi warga negara untuk terlibat di dalamnya”, balas tokoh ormas yang juga kiyai lagi.

Seperti dikutip di www.nu.or.id, saya kutip:

Para kiai Nahdlatul Ulama (NU)-Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) menyerukan warga NU agar menggunakan hak pilihnya alias tidak golput pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2009. Mereka juga meminta agar warga NU tidak terpengaruh dengan partai-partai Islam baru yang bermunculan saat ini.

Seruan itu merupakan salah satu dari lima butir rekomendasi ulama dalam Silaturahmi Nasional Ulama NU-PKB di Hotel Quality Jl Solo Yogyakarta, Minggu (14/12/2008). Rekomendasi itu dibacakan KH Abdul Aziz Affandi dari Manonjaya, Tasikmalaya, Jawa Barat.

Saat membacakan rekomendasi itu, dia didampingi KH Dimyati Rais (Kendal, Jateng), KH Mahfud Ridwan (Salatiga, Jateng), KH Amin Abdul Hamid (Magelang, Jateng) KH Mufid Abdullah (Cirebon, Jabar), KH Najib Abdul Qadir (Krapyak, Yogyakarta) KH Ali Maschan Moesa (Surabaya, Jatim), KH Luqmanul Hakim at-Tarmisyi dan Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar.

“Menggunakan hak pilih adalah cermin dari sikap positif ikut berpartisipasi memperbaiki kondisi masyarakat,” katanya.

Aziz juga menyerukan agar warga NU tidak terpengaruh atau memilih partai-partai baru yang cenderung dekat pada kemubaziran politik. Pemilu 2009 hendaknya digunakan sebagai momentum untuk menyederhanakan partai melalui seleksi alam oleh rakyat dan memilih kepemimpinan nasional.

Ketua Umum Dewan Tanfidz DPP PKB Muhaimin Iskandar mengingatkan para kiai NU-PKB untuk semakin gencar memberitahukan kepada warga NU mengenai kemubaziran bila memilih partai-partai baru. Sebaiknya, suaranya disumbangkan kepada PKB.

Wah semua kiyai ya… kok mau-maunya turunkan sarung dan peci, pake celana jins, ikuti ‘penyuruh berisik berhadiah’ itu untuk menyerukan fatwa haram golput? Sangat menyedihkan memang. Gus Dur berbicara ‘A’… sudah dikeroyok yang lain, dengan ‘B’,’C’, ‘D’, dst.

Belum lagi jika kita dengarkan suara berisik yang lain lagi. Yaa, mungkin setengah kiyai, atau ia tak mau (bukan) disebut kiyai, seperti Amin Rais, Din Syamsuddin, dan Hidayat Nurwahid. Wah, wah, wah,,,, Ini dia..

Pak Ketua MPR juga ikut-ikutan yaa… sudah mulai gatel juga ya pak, terusik oleh suara Gus Dur serukan golput?

Din Syamsuddin juga ya. Eh, Pak Amin Rais Juga ikut to?

Tidak ketinggalan, lembaga produksi fatwa di negeri kita juga ikut-ikutan basah, MUI. Tengah bersiap-siap mengeluarkan fatwa haram golput kayanya nih. Tapi tunggu aja deh, mungkin masih di timang-timang maslahat-mudharatnya, untung ruginya, dan cucok harganya, eh…yang terakhir just kidding.

Wah semakin berisik, dan berisik. Entah deh, berisik berhadiah, atau berisik kepentingan. Semuanya hanya Allah dan mereka yang tahu. Eit, tapi kita juga bisa menduganya kok.

Dari keterusikan mereka, akhirnya jadi kelihatan peta siapa saja yang berkepentingan atas seruan Gus Dur. Atau berkepentingan dengan partainya, serta missinya di 2009 nanti.

Tafsir saya, kalau memang fenomena golput telah masuk ke aras keagamaan dengan keluarnya fatwa para ulama, jelas ini sudah mengkomersilkan agama. Agama dijual demi kepentingan politik tertentu dan golongan beberapa pihak. Lha wong fatwa yang menghukumi wilayah amaliah keagamaan saja masih bisa ditentang, karena itu semua pendapat para ulama dan para ulama tak semua sependapat, apalagi urusan politik kewarganegaraan atau urusan memilih.

Dan kalau para ulama ini ngotot mengeluarkan fatwa, bagi saya, sama sekali tak wajib untuk dilaksanakan. Sama saja mereka sudah main politik bunyi-bunyian demi memberi berat pada bandul tokoh tertentu.

Dan terakhir, melihat fenomena golput yang akhir-akhir ini marak diperbincangkan dan bermula dari lemparan Gus Dur, saya kira menyiratkan pesan betapa Gus Dur sudah menciptakan pemetaan yang luar biasa cerdas dengan sebuah komentar sederhana, Golput. Semua terpetakan, kepentingan siapa dan apa, orang siapa dan mau apa, serta yang lainnya.

Gus, jurus apalagi yang akan kau keluarkan yang bikin banyak orang sewot? Kita tunggu saja.

Visi-Misi GATARA


Visi - Misi

GERAKAN KEBANGKITAN RAKYAT

(GATARA)

Visi:

Terwujudnya tatanan masyarakat yang mandiri, sejahtera, menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia, berwatak toleran (tasamuh) yang bertumpu pada kemajemukan bangsa sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan final Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Misi :

Mewujudkan dan membangkitkan kembali kekuatan masyarakat berperadaban (civilized society, Al ummah al mutamaddin) yang menjunjung tinggi hukum dan nilai-nilai keagamaan yang rahmatan lil’alamin, mandiri, cerdas, kritis dan berwibawa serta mampu menjadikan dirinya sebagai bagian dari entitas negara bangsa (nation state) yang sejahtera, aman, damai, adil, dan demokratis sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Jumat, 19 Desember 2008

GERBONG PKB SUDAH TAK BERPENGHUNI



Menyusul peluncuran organisasi baru milik Gus Dur—GATARA, mengalir cukup deras kontroversi dan hujatan, serta sindiran, wabilkhusus dari mereka yang sejak awal tak ingin Gus Dur tampil di panggung politik. Derasnya hujatan serta senyuman sinis ini juga mengalir dari kubu Muhaimin Iskandar dkk yang sejak awal memang menginginkan Gus Dur lengser dari rumah sendiri, PKB.

Setidaknya, reaksi keras atas deklarasi GATARA beberapa waktu lalu spontan keluar sesaat tak lama setelah GATARA dideklarasikan. Berbagai respon serta komentar keras begitu deras mengalir untuk Gus Dur dan para Punggawa GATARA. Lihat saja komentarnya di sini, di sini, di sini, di sini, atau juga di sini.

Dari teks itu sungguh jelas, bahwa keberadaan GATARA memang cukup mengusik eksistensi PKB Kubu Muhaimin dkk. Dan hal ini mencerminkan betapa kekuatan serta kekuasaan mereka mengumandangkan ‘kemenangan’ selama ini di berbagai media hanya lip service alias permukaan semata. Mereka hanya Pede berbicara di media. Mereka juga Pede karena dapat suntikan dana yang besar, sehingga merelakan kemaluannya untuk mengobrak-abrik serta merusak rumah PKB.

Walhasil, pasca keputusan MA yang mengembalikan posisi nahkoda kepemimpinan PKB ke hasil Muktamar Semarang, tak diindahkan sama sekali. Yang digemborkan di luar sana, yang disuarakan ke telinga publik, hasil Muktamar Semarang adalah Muhaimin sebagai Ketum Dewan Tanfidz dan K. Aziz Mansur sebagai Ketum Dewan Syura.

He he… lucu yaa…bukankah semua orang tahu. Dunia ini pun juga tahu, kalau hasil Muktamar di Semarang itu ya Gus Dur (ketum DS) dan Muhaimin (ketum DT). Kenapa musti repot dibelokkan ke arah yang lain. Bukankah arah yang dimaksudkan mereka semua itu adalah hasil Muktamar Ancol yang sangat delegitimate alias TIDAK SAH?

Penggembosan sistemik

Apa arti itu semua? Tak lain dan tak bukan jawabnya: sejak pemberhentian Muhaimin dkk, jelas ada upaya sistemik serta terstruktur untuk menggembosi perjuangan Gus Dur membesarkan demokrasi serta kemajemukan bangsa ini. Para penggembos ini tak mau Gus Dur hadir di tengah-tengah mereka. Karena bagi mereka, Gus Dur sangat ‘merepotkan’. Ya, sangat merepotkan, semerepotkan mereka menanggapi setiap gerak langkah Gus Dur yang begitu untouchable dan unpredictable.

Dengan adanya ‘lingkaran setan’ para penggembos yang begitu solid dan kuat lagi kokoh ini, wajar jika perjuangan Gus Dur untuk mencari keadilan di lembaga peradilan negeri ini selalu ‘patah’ dan ‘dipatahkan’. Lagi-lagi rezim yang ‘menanam saham dana’ kembali campur tangan atas konflik internal ini. Kasus ini buktinya, atau kasus ini(baca).

Sidang Gugatan PKB Gus Dur di Gresik dan Magetan memang berakhir kemenangan, namun dengan kemenangan itu, KPU justru menolak menatah-mentah pemberkasan calegnya, yang diterima justru PKB Kubu Muhaimin Iskandar.

Namun jangan kaget saudara-saudara. Gus Dur memang KALAH tapi belum KALAH.

Saya secara pribadi diam-diam merekam setiap suara serta laporan, dukungan dan selebaran hingga sticker yang menghujat perilaku Muhaimin Iskandar dkk yang telah tak menjunjung tinggi AD/ART PKB. Saat ini, saya beranikan diri untuk share dan bagikan ke anda semua. Tak lain dan tak bukan hanya untuk membuktikan bahwa Gus Dur memang belum KALAH, dan (menurut saya) tak akan (pernah) kalah. Semua orang juga tahu, serta diam-diam mengiyakan serta antusias sekali mendapatkan kabar ini.

Mereka memang telah lama geram atas ulah para Penggembos PKB itu yang menggusur pejuang sebenarnya di PKB. Sejauh yang saya alami, dan saya lihat, coba anda semua perhatikan penerbitan SK (surat keputusan) di berbagai daerah yang hanya bertanda tangan duo Muhaimin dan Lukman Edy. Hah,,, itu cukup menggeramkan banyak pihak. Masa, para kiyai, ulama serta pejuang PKB yang telah lama menghuni rumah PKB secara tiba-tiba tergusur hanya karena selembar SK bertanda tangan Duo itu, mengalahkan komposisi yang diatur selama ini ada 4 orang (ketum DS+Sek DS dan Ketum DT+Sek DT) yang tanda tangan sesuai dengan AD/ART. Aneh sekali, ada daerah yang pengurus SK baru itu sebenarnya adalah orang-orang yang sudah menghuni kuburan alias meninggal dunia. Orang mati kok jadi pengurus PKB? Itu kan lucu.

Bahkan saya sendiri mendapati nomor SK baru milik kubu Muhaimin Iskandar yang sangat tak masuk akal. Nomor SK daerah A itu adalah hasil pencabutan nomor SK daerah B. Bukankah tidak nyambung. Saya yakin, pembuat SK ini begitu terburu-buru, atau malah ngantuk hingga pencabutan nomornya salah cabut, karena milik daerah B yang digunakan untuk mencabut nomor SK di daerah A.

Bahkan ada desas-desus SK-SK baru bertanda tangan duo ini memang diperdagangkan alias dijual. Wah, kalau ini yang terjadi, jelas sudah jauh keluar dari rel-rel yang sebenarnya.

Perilaku-perilaku inilah yang sejatinya tak pantas menjadi cermin bagi perjuangan PKB. Maka wajar jika sejak Pemberhentian Muhaimin serta pemecatan kawan-kawannya yang tak patuh AD/ART, sangat deras mengemuka suara-suara yang mendukung Gus Dur. Inilah suara-suara itu …

Seruan Peringati Cak Imin atas Perlakuan terhadap Gus Dur

Seruan Peringati Cak Imin atas Perlakuan terhadap Gus Dur

Lihatlah sticker serta ungkapan-ungkapan jujur dari para ‘penghuni asli PKB’ yang saya tempelkan diantara postingan ini. Kenapa saya katakan ‘penghuni asli PKB’. Ya jelas. Karena mereka yang telah berjuang lama di PKB. Mereka yang telah susah payah mbabad alas di daerahnya masing-masing memperjuangkan PKB. Merekalah yang membesarkan nama PKB serta mengharumkan PKB di seluruh titik perjuangan pelosok negeri ini. Tanpa mereka PKB tak akan besar.

Adapun para pengurus elite yang kini tengah menikmati kemenangan merebut Rumah PKB dari Gus Dur, mereka hanya sebatas menikmati partai ini setelah besar dan dibesarkan oleh para penghuni Partai ini. Memang mereka kini telah mengambil alih Kereta PKB dari kepemimpinan yang sejatinya. Namun, lihatlah para penumpang yang pada Pemilu 1999 dan 2004 sudah terhimpun mencapai angka 11-15% kini telah meninggalkan kereta itu.

Mereka ingin tempat yang kembali teduh. Tak lagi panas oleh ulah tangan-tangan jail.

Nah, mungkin sementara ini rakyat PKB ingin sejenak refresh melihat segarnya GATARA yang baru lahir. Rakyat PKB ingin menimang momongan baru Gus Dur yang tengah tumbuh (mem)besar dan (meng)kuat. Biarlah PKB ini dibawa oleh mereka, namun gerbong yang panjang itu tak lagi berpenghuni dan berpenumpang, alias KOSONG. Semua penghuni telah turun dan pergi meninggalkan tokoh yang tak kharismatik dan mengedapankan nilai-nilai moral-hukum PKB.

Kini para penumpang itu telah punya ‘momongan’ baru yang bernama GATARA. Namun suara Penumpang itu tetap berada di belakang Gus Dur yang tetap menjadi Ketua Umum Dewan Syura PKB. Dan Harapan besar rakyat PKB tetap kembali ingin merebut PKB yang kini telah kesasar alias keliru jalur, sembari pada saat yang sama membesarkan ‘momongan’ baru bernama GATARA.

Postingan ini hanya merupakan ‘interpretasi teks’ yang selama ini berjalan di jagat perpolitikan kita. Yang namanya interpretasi, bisa keliru, bahkan bisa benar. Silakan anda semua yang menilai. Saya hanya pengamat di belakang saja, dan pemberi kabar yang tak punya arti apa-apa di PKB. Terserah anda deh… wallahua’lam.

Sekian… Salam Perjuangan… HIDUP GUS DUR!!!

Gatara Malang Dideklarasikan

10 Desember 2008 by Dwi Cahya

Malang (GP-Ansor): Malang merespon cepat terbentuknya Gatara (Gerakan Kebangkitan Rakyat) di Jakarta, 3 Desember lalu. Gerakan yang dideklarasikan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu kemarin berdiri di Malang. Namanya Gatara Malang Raya. Gerakan ini berkantor di Jl Raya Singosari, Kecamatan Singosari.

Deklarasi ini sore kemarin dihadiri oleh sejumlah pengurus GP Ansor, garda bangsa, Pengurus Cabang dan Anak Cabang Fatayat Kabupaten Malang, Forum Kerukunan Antar Umat Beragama (FKAUB) Malang, dan akademisi. Acara deklarasi yang dikemas dialogis itu dihadiri kader setia pendukung Gus Dur se-Malang Raya.

Wakil Sekjen Dewan Koordinasi Nasional Garda Bangsa Hasyim Asya’ri Hamid, yang hadir di acara itu mengatakan, terbentuknya Gatara Malang Raya adalah kali pertama di Indonesia. ”Dari pengajuan yang masuk ke Jakarta, hanya Singosari yang sudah realisasi. Sementara Surabaya, Bali, Lampung, dan Pekalongan, baru akan terbentuk,” kata Hasyim.

Meski sudah dideklarasikan, namun Gatara Malang Raya belum memiliki susunan kepengurusan. Sebab, deklarasi ini dilakukan untuk mengetahui respons masyarakat. Kelak, jika respons masyarakat bagus, maka dengan sendirinya kelengkapan organisasinya akan dibentuk.

Ke depan, guna meraih simpati masyarakat organisasi yang konsen terhadap penegakan hukum dan demokrasi ini membentuk posko pengaduan seputar permasalahan kondisi sosial, politik, dan ekonomi. Salah satunya yang sudah dibentuk adalah posko pengaduan masyarakat. Misalnya melayani pengaduan soal kelangkaan pupuk, pengangkatan guru bantu, dan seputar masalah gerakan penghijauan.

Di dalam Gatara, kata Hasyim, banyak orang-orang yang mumpuni untuk menindaklanjuti semua keluhan itu. ”Salah satunya adalah memangkas komunikasi birokrasi, menjadi langsung ke tingkat pusat,” katanya.

Hasyim menegaskan, Gatara bukanlah partai politik. Namun tidak menutup kemungkinan kelak akan berubah jika masyarakat mengharapkannya.

Terpisah, Hasan Abadi MAP, ketua acara deklarasi, mengatakan Gatara memiliki visi dan misi jelas yakni mewujudkan tatanan masyarakat yang amndiri, sejahtera, menjunjung tinggi hokum, dan hak asasi manusia (HAM). Selain itu, juga toleransi yang bertumpu pada kemajemukan bangsa berdasarkan pancasila dan UUD RI 1945.

Gus Dur, Keturunan Nabi ke-33?


Salam perjuangan,

Untuk lebih mengenal sosok dari sang guru kita, Ketua Umum Dewan Syuro PKB, al-mukarrom KH Abdurrahman Wahid, mari kita baca kutipan dari sumber blog pecinta Gus Dur berikut ini :

——————————————————–

Gus Dur, keturunan nabi? banyak orang yang tidak percaya bahwa Gus Dur yang terkenal kontroversial ini adalah keturunan nabi, namun dalam kenyataannya, silsilah gus dur menyambung ke rasullulah SAW.

Dapat dibuktikan dari sebuah Al-kitab Talchis karangan Abdulloh Bin Umar Assathiri. Sumber ini diklaim telah diteliti dan direstui Rois Aam Jam’iyah Ahlith Thoriqoh Al Muktabaroh An Nahdliyyah KH. Habib Lutfi Ali Yahya, Pekalongan.

Berikut petikan silsilah Gus Dur sampai ke Nabi Muhammad SAW:
1. Muhammad Salallahu Alaihi Wailaihi Wasalam,

2. Sayyidina Fatimatus Zahro dengan Sayyidina Ali,

3. Sayyidina Husen Bin Ali,

4. Sayyidina Ali Zaenal Abidin,

5. Sayyidina Muhammad Al-Baqir,

6. Sayyidina Ja’far Shodiq,

7. Sayyidina Ali AL-Uroidi,

8. Sayyidina Muhammad Annaqib,

9. Sayyidina Sayyidina Isa Arrumi,

10. Sayyidina Ahmad Al-Muhajir Ilallah.

11. Sayyidina Ubaidillah,

12. Sayyidina Alawi,

13. Sayyidina Muhammad,

14. Sayyidina Alawi Muhammad,

15. Sayyidina Ali Choli’ Qosam,

16. Sayyidina Muhammad Shohibul Mirbath,

17. Sayyidina Alawi,

18. Sayyidina Amir Abdul Malik,

19. Sayyidina Abdulloh Khon,

20. Sayyidina Ahmad Syah Jalal,

21. Sayyidina Jamaludin Khusen,

22. Sayyidina Ibrohim Asmuro,

23. Sayyidina Ishak,

24. Sayyidina Ainul Yaqin (Sunan Giri),

25. Sayyidina Abdurrohman (Jaka Tingkir),

26. Sayyidina Abdul Halim (P. Benawa),

27. Sayyidina Abdurrohman (P. Samhud Bagda),

28. Sayyidina Abdul Halim,

29. Sayyidina Abdul Wahid,

30. Sayyidina Abu Sarwan.

31. Sayyidina KH. As’ari,

32. Sayyidina KH. Hasyim As’ari

33. Sayyidina KH. Abdul Wahid Hasyim

34 KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

——————————

Mudah2an Allah memuliakan Rosulullah, Keluarga besarnya, termasuk Gus Dur, dan umatnya di belahan dunia manapun ..

Wassalamu’alaikum

Deklarasi GATARA


Setelah jutaan pengikut dan pendukung setia Ketua Umum Dewan Syuro DPP PKB KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melihat bahwa proses demokrasi, hukum dan politik sekarang ini tidak berjalan sebagaimana diharapkan dalam sebuah negara bangsa, maka untuk partisipasi dan mewujdkannnya dibutuhkan suatu wadah baru dalam rangka menyatukan langkah perjuangan itu di seluruh Indonesia.


Melalui wadah ini diharapkan para ulama, kiai, habaib, kaum nahdliyyin (warga NU) dan masyarakat pada umumnya mampu memberikan sumbangsihnya terhadap proses demokratisasi, politik dan penegakan hukum di Indonesia. Karena itu kekuatan sosial politik dan ekonomi pendukung mantan Ketua Umum PBNU ini bisa disatukan dan diarahkan melalui satu komando yang bernama GATARA.


Melalui GATARA ini kita berkomitmen untuk meneguhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, mempertahankan dan mengamankan Pancasila serta UUD RI 1945 sebagai pedoman berbangsa dan bernagara. Memperjuangkan tegaknya hukum, keadilan dan kesejahteraan rakyat yang bertumpu pada kemandirian bangsa Indonesia.


Selain itu GATARA akan terus berusaha dan memperjuangkan pembumian ajaran Allah Yang Maha Esa, memperjuangkan pluralisme serta kerukunan umat beragama dan menciptakan suasana damai tentram dan menghindari kekerasan antarumat beragama dalam bentuk apapun.


Karena itulah GATARA berdiri dan berusaha mewujudkan negara yang demokratis, berwibawa, mandiri dan bermartabat melalui penyelenggaraan negara yang bersih, transparan, akuntabale dengan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila dan UUD RI 1945. Memperkuat sendi-sendi kerakyatan yang bertumpu pada Pancasila dan UUD RI 1945. Membangun sumber daya manusia yang cerdas, kritis, profesional, dan bertanggungjawab dalam membangun kekuatan dan kemandirian rakyat.


Selain itu GATARA akan berusaha meningkatkan partisipasi politik, penegakan hukum dan ekonomi kerakyatan dalam upaya menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat menuju terbentuknya suatu masyarakat bangsa yang religius, pluralis, humanis dan rahmatan lilalamain dan terwujudnya negara yang baldatun thayyibatun warabbun ghafur.


GATARA dideklarasikan oleh Ketua Umum Dewan Syuro DPP PKB KH. Abdurrahman Wahid pada Rabu, 3 Desember 2008 di Gedung Wahid Institute Jl. Taman Amir Hamzah No.8 Jakarta Pusat, sebagai Ormas yang bertujuan sebagaimana disebutkan ditas. Sekretariat beralamat di Jl. Warung Silah No.10 Ciganjur, Jakarta Selatan.


Pengurus dan anggota GATARA secara resmi berada di 33 provinsi, seluruh kabupaten/kota dan kecamatan di seluruh Indonesia dengan struktur organisasi dewan presidium nasional, dewan presidium provinsi/kabupaten/kota dan kecamatan. Dan, GATARA berlandaskan kepada AD/ART dengan menyelenggarakan Kongres Nasional.


Deklarasi GATARA dihadiri oleh tokoh-tokoh nasional. Di antara yang hadir adalah Ir. Akbar Tanjung, Sutiyoso, Muchtar Pakpahan, Hariman Siregar, Utomo Dananjaya, KH. Nuril Arifin dan beberapa tokoh lainnya.


Semoga GATARA ini mendapat sambutan positif bagi masyarakat dan bangsa Indonesia demi terciptanya suatu masyarakat yang adil, makmur, sejahtera , mandiri dan bermartabat dengan menjunjung tinggi Pancasila, UUD RI 1945, akhlakul karimah dan nilai-nilai luhur budaya bangsa.


JAKARTA, 3 Desember 2008

KH. Abdurrahman Wahid

Sumber :

http://wiwitfatur.wordpress.com

Selasa, 16 Desember 2008

Golput Bukan Urusan Agama

Oleh: Moch Nurhasim, S.IP, M.Si
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI di Jakarta

Perdebatan tentang golongan putih (golput) tampaknya sudah memasuki ranah agama. Sebelumnya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengimbau kader PKB agar memilih cara golput pada Pemilu 2009 karena merasa telah dizalimi KPU.

Bahkan status hukum golput menjadi perdebatan kalangan ulama Islam.Beberapa kiai NU di Jawa Timur memberi hukum fardu kifayah, sementara beberapa kader PKB Gus Dur memberi hukum wajib. Kader PKB Gus Dur Ketua Dewan Syura DPW PKB Jatim Fuad Amin Imron mengharamkan kadernya memilih caleg dari PKB Muhaimin Iskandar. Ada pula PKS melalui Hidayat Nur Wahid mengidentikkan golput dengan mubazir dan sesuatu yang mubazir itu hukumnya haram.

Saya teringat peristiwa sejarah masa lalu ketika era 1970-an akhir hingga 1980-an. Waktu itu saya yang masih kecil hidup di tengah-tengah keluarga Nahdlatul Ulama (NU) di Lamongan. Semasa itu muncul fatwa dari beberapa kampanye bahwa mencoblos PPP itu hukumnya wajib dan haram untuk mencoblos partai yang lain. Kisah seperti ini sering diungkapkan beberapa keluarga saya bahwa ada fatwa ulama lokal dalam setiap kampanye soal hukum mencoblos partai politik. Kini, fatwa dan pandangan semacam ini muncul kembali.

Terlepas dari perdebatan hukum agama, saya memandang bahwa golput adalah suatu pilihan politik dan golput tidak ada urusannya dengan agama. Mengaitkan golput dengan agama hanyalah kerjaan elite politik yang gagap, waswas, dan bimbang karena mereka takut tidak memperoleh dukungan politik dari rakyat. Karena itu, golput menjadi sasaran ”fatwa” para penafsir agama. Ini merupakan bentuk politisasi agama menjelang Pemilu 2009.

Golput adalah Hak, Bukan Kewajiban
Bagaimana seharusnya elite politik memandang golput? Dalam sejarah politik Indonesia, golput adalah sebuah gerakan sosial-politik dari kalangan intelektual dalam memahami dan menyikapi perubahan politik yang sedang terjadi.

Golput menjadi hak bagi mereka yang tidak menggunakan politiknya karena rezim dinilai gagal memberikan calon-calon alternatif dan partai politik dianggap sebatas kepanjangan tangan dari rezim otoriter. Dalam ranah gerakan, kehadiran golput adalah sikap politik untuk melawan rezim dan para elite politik yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Golput lahir dari suasana kekecewaan, frustrasi politik karena pemilu hanya menghadirkan sosok-sosok pemimpin yang korup dan perilaku politik yang mementingkan diri sendiri.

Semangat tersebut merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi munculnya golput. Karena itu, bagi mereka golput adalah hak, bukan kewajiban. Sementara bagi pihak-pihak yang mengklaim golput itu haram, mubazir, dan sebagainya menilai bahwa hak untuk memilih (menggunakan suaranya) adalah kewajiban.

Padahal kita tidak mengenal istilah compulsary vote (kewajiban memilih) seperti yang diterapkan dalam pemilu Australia. Konsekuensi bahwa hak pilih bukan kewajiban, tetap hak, maka penunaian hal itu tergantung rakyat. Selama ini ada ungkapan suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei). Saya kira, kata ini sudah mengalami distorsi karena dalam praktik demokrasi di negeri ini, rakyat hanya menjadi objek dan instrumen kepentingan.

Kepentingan rakyat tidak menjadi kepentingan utama untuk diperjuangkan oleh partai-partai politik. Dalam konteks itulah demokrasi mengalami gugatan. Orang mulai acuh tak acuh dalam memilih pemimpin karena mereka mulai cerdas. Memilih siapa pun, tidak ada hukum timbal baliknya. Apakah dengan memilih partai yang bersih, calon anggota DPR yang cerdas sekalipun, timbal baliknya kesejahteraan mereka akan dipenuhi? Ketika rakyat awam mempertanyakan itu, yang terjadi adalah defisit demokrasi.

Demokrasi justru digugat karena dianggap terlalu asyik dengan prosedur-prosedur, tetapi melupakan substansinya. Pertanyaan mulai muncul dari kalangan rakyat, dengan biaya untuk memilih yang begitu mahal, mengapa kehadiran sistem demokrasi yang kita anut tidak menghasilkan kesejahteraan bagi rakyatnya? Apa bedanya seorang yang dipilih secara langsung dengan sistem perwakilan? Mengapa kinerja para elite justru mengarah pada kenyataan yang jauh panggang dari api?

Fenomena Demokrasi
Inilah fenomena demokrasi yang sedang kita hadapi. Ketika pemilik kedaulatan itu semakin cerdas, mereka menggunakan ”kedaulatannya” sebagai alat bargaining power.

Salah satu bentuknya yang paling mudah adalah tidak bersedia datang ke TPS untuk menggunakan suaranya. Mereka menyadari bahwa suara mereka berharga, tetapi dalam realitas sering diselewengkan sehingga tidak dapat berkontribusi dalam membenahi sistem politik nasional yang karut-marut. Pengaruh beritaberita televisi misalnya turut menentukan orientasi politik pemilih. Karena itu, fatwa haram dan halal bukanlah cara yang cerdas yang dilakukan elite politik.

Demokrasi menghendaki kerja-kerja politik yang terstruktur, terarah, dan pada akhirnya memiliki manfaat kepada pemilih. Jika elite gagal mendialogkan manfaat dalam bernegara kepada publik, tidak menutup kemungkinan golput—dalam pengertian orang mulai enggan untuk datang ke TPS––akan terjadi pada Pemilu 2009.

Kecenderungan golput yang semakin meningkat pada beberapa kasus pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan bukti bahwa sebagian pemilih mulai enggan menggunakan hak suaranya. Mereka berpikiran sederhana, apa manfaat mereka terlibat dalam politik ketika para pemimpin yang terpilih tidak mengindahkan penderitaan yang mereka alami?

Ide Aneh Fatwa Konyol!

Ketua MPR-RI mengusulkan agar MUI mengeluarkan fatwa yang membuat jengah, yakni fatwa haram Golput.
Saya bukan ahli agama dan mungkin tak patut berbicara menggunakan dalil-dalil atau nash-nash yang mungkin menjadi landasan seseorang yang punya label ulama atau lembaga tempat berhimpunnya ulama untuk mengeluarkan suatu fatwa.
Dalam coretan ini, saya hanya ingin menyampaikan isi hati saya mengenai kebingungan dan kerisauan terhadap tepe'el (baca: prilaku) orang-orang yang menamakan dirinya ulama atau yang berhimpun di institusi ulama di negeri ini, yang dengan mudah mengeluarkan ide mengenai fatwa-fatwa konyol yang aneh dan malah dicibir oleh berbagai pihak.
Tentunya mengeluarkan suatu fatwa bukan perkara gampang, apalagi jika menyangkut hajat hidup orang banyak bahkan menyangkut pilihan sadar banyak pihak. Fatwa yang dikeluarkan akan menjadi landasan hukum bagi pemeluk suatu agama, maka jika fatwa itu konyol, tentunya akan berdampak kurang baik seperti akan muncul kebingungan dan kerisauan berbagai kalangan, bahkan akan muncul penolakan-penolakan. Jika sudah muncul penolakan-penolakan maka jika fatwa itu muncul, pun...tentu akan tak berarti, tidak dipedulikan alias mandul bin konyol. Kalau sudah begini maka kredibilitas lembaga yang mengeluarkan juga akan jatuh dan memalukan.
Akan menjadi aneh, seandainya jika sampai keluar fatwa haram...maka akan banyak pihak dari berbagai kalangan yang Golput itu bakal di cap berdosa jika tidak memilih. Apakah dengan gampang ada segolongan orang boleh mencap berdosa orang laen hanya karena persoalan sepele seperti tidak memilih, padahal hak pilih adalah hak setiap orang, jadi hak memilih untuk tidak menggunakan hak pilih itupun harusnya dihargai. Apalagi jika sikap untuk memilih tidak menggunakan hak pilih karena banyak faktor yang melatar-belakanginya, seperti faktor kekecewaaan terhadap sistem negara ini, sebab memilih dan tidak memilihpun sama saja, karena dianggap pemilihan yang terjadi tidak memberikan opsi yang lebih baik. Atau mungkin saja tidak menggunakan hak pilih karena kegagalan negara dalam memberikan pendidikan politik dan berdemokrasi, serta kegagalan secara teknis administratif yang membuat banyak pihak kehilangan hak pilih dan tidak menggunakannya. Apa hak manusia....untuk menyatakan mereka yang memilih untuk tidak menggunakan hak pilih atau kehilangan hak pilih sebagai manusia berdosa, hanya karena fatwa konyol!? Ide Aneh!

Senin, 15 Desember 2008

Yenny: Gatara Dibentuk untuk Rebut PKB Kembali


JAKARTA - Langkah Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mendirikan Gerakan Kebangkitan Rakyat atau Gatara tak lepas dari keinginannya untuk merebut kembali Partai Kebangkitan Bangsa yang saat ini dikendalikan Muhaimin Iskandar.

Hal tersebut keluar dari mulut Putri Gus Dur Zannuba Arifah Chafsoh yang akrab disapa Mbak Yenny.

"PKB tetap punya kita, akan kita rebut kembali," kata Yenny kepada wartawan usai deklarasi Gatara di The Wahid Institute, Jalan Amir Hamzah, Jakarta, Rabu (3/12/2008).

Yenny mengatakan sementara Gus Dur disisihkan dan tidak diberikan haknya, Gatara akan menjadi wadah konsolidasi bagi Gus Dur dan pendukungnya.

Dia berharap pendukung Gus Dur yang kecewa dengan proses internal di PKB dapat bergabung ke organisasi itu. "Rata-rata (kader) PKB itu memilih PKB bukan karena yang lain tapi karena Gus Dur," pungkasnya.

Yenny Wahid: Cak Imin Bawa Kereta Tanpa Penumpang


TASIKMALAYA - Pimpinan DPW PKB Jawa Barat dan DPC PKB kubu KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur se-Priangan Timur, resmi mendeklarasikan Gerakan Kebangkitan Rakyat (Gatara), di Ponpes Al Munawwar Januziyyah, di Kampung Pasir Bokor, Mangkubumi, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Minggu (14/12/2008).

Presidium Gatara Zannuba Ariffah Chafsoh atau akrab disapa Yenny Wahid menyatakan tetap menentang kepemimpinan PKB Muhaimin Iskandar dan mengancam akan mengalihkan dukungannya ke partai atau calon lain pada pemilu legislatif dan pilpres mendatang.

Yenni juga mengklaim Muhaimin Iskandar alias Cak Imin telah membawa kereta tidak berpenumpang. Pasalnya, massa PKB yang notabene warga Nahdiyin masih utuh dan tetap patuh kepada kepemimpinan Gus Dur.

"Dia hanya membawa institusi PKB saja, sementara massa pendukungnya ditinggalkan. Karena sudah jelas tanpa Gus Dur PKB kehilangan ruhnya sekira 70 persen," ujar Yenny.

Yenny menjelaskan, PKB Gus Dur yang telah mendeklarasikan Gatara di seluruh daerah, mempersilakan kadernya untuk menentukan pilihan sendiri dalam memberikan dukungan kepada siapa pun pada pemilu legislatif mendatang.

"Mau atau tidak menggunakan hak pilihnya, tidak apa-apa. yang penting jangan sampai memberikan pilihannya kepada PKB," tegas puteri Gus Dur ini.

Dukung Golput Haram, Bawaslu Tak Paham Demokrasi


JAKARTA - Pernyataan anggota Badan Pengawas Pemilu Wirdyaningsih mendukung fatwa haram golput menuai reaksi keras dari Ketua Pedoman Indonesia Fadjroel Rachman.

Fajroel menuding sikap Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencerminkan ketidakpahaman akan makna demokrasi.

"Bawaslu, setidaknya Wirdyaningsih, mesti mencabut dukungan atas fatwa haram golput itu, juga Hidayat mesti mencabut usulannya," ujarnya di Jakarta, Minggu (14/12/2008).

Pasalnya, fatwa haram terhadap golput dinilai akan mengancam eksistensi demokrasi di Indonesia. "Kita akan hancur lebur bila keyakinan agama dijadikan alat legitimasi untuk mencabut hak konstitusional warganegara seperti hak golput. Bawaslu adalah penjaga demokrasi, bukan benalu demokrasi," ungkapnya.

Perlu diketahui, Hidayat Nurwahid mewacanakan agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan golput. Hal itu bertujuan untuk menekan tingginya jumlah warga negara yang tidak menggunakan pada Pemilu 2009.

Sikap serupa juga diambil oleh Bawaslu. Mereka mendukung penuh upaya perumusan fatwa haram golput untuk menekan rendahnya partisipasi pemilih dalam pemilu.

Merawat Kebinekaan Kita


Perspektif Online
15 November 2008

Oleh: Didiet Adiputro

Kebinekaan dan Keberagaman yang dimiliki bangsa Indonesia rupanya masih banyak dipandang sebagian pihak sebagai sesuatu kelemahan kita. Padahal jika ingin dilihat lebih bijak, justru kebinekaan adalah sumber kekuatan utama bangsa kita, yang karena berbeda-beda itulah maka Indonesia dapat bertahan sebagai bangsa yang besar hingga saat ini. Sehingga toleransi antar umat beragama harus terus dijaga untuk merawat kebinekaan kita.

Pada hari ulang tahun ke tiga acara Kongkow Bareng GusDur yang diadakan di Kedai Tempo, Utan Kayu inilah perbincangan tentang pluralisme di Indonesia dengan tema ”Merawat Kebinekaan Kita” berlangsung. Beberapa tokoh yang secara garis besar mendukung gagasan Gus Dur tentang pluralisme dan tentunya anti UU Pornografi hadir juga dalam diskusi ini. Diantaranya adalah dua orang mantan Juru bicara Gus Dur Wimar Witoelar dan Adhie Masardi, Gus Nuril Arifin, Bondan Guawan, Ayu Utami, Goenawan Muhamad dan Romo Mudji Sutrisno.

00kongkow.jpg

sebagian pembicara

Ketika bicara pluralisme maka salah satu pendekar yang selalu kita ingat dalam memperjuangkan ide tersebut adalah Gus Dur, karena beliaulah yang mampu merawat dan menghimpun Indonesia dalam kebinekaan, begitulah menurut Romo Mudji. Bahkan Ayu Utami menganggap Gus Dur adalah sosok yang mampu mengumpulkan banyak titik simpul yang berbeda menjadi satu.

WW juga sedikit bercerita tentang pengalamannya bersama Gus Dur dalam suatu perbincangan. WW bertanya pada Gus Dur,
WW: ”saya ini Islam apa ngga Gus?
GD: ”Menurut mas Wimar?”
WW: ”Ya Islam”
GD: ”Ya sudah..”
Dari situlah WW merasa bahwa Gus Dur sangat terbuka, dan karena itu pula berhasil meyakinkan bahwa pluralisme itu hidup. Dengan begitu ada gunanya juga seseorang masuk ke dalam politik untuk menghindari penyelewengan negara terhadap pluralisme.

Sensitivitas kebanyakan orang Indonesia yang mudah marah tapi bukan pada tempatnya disinggung oleh Gus Nuril Arifin. ”Saya bingung sama orang Indonesia, kalau ada orang masuk masjid pakai sendal mereka marah, tapi kalau masjid dan pesantren mereka ditimbun oleh Lumpur panas mereka malah nggak marah”, singgung Gus Nuril.

UU Pornografi yang masih kontrovesialpun tak luput jadi bahan perbincangan di diskusi yang dipandu aktivis AKKBB Guntur Romli ini. Bagi WW, undang-undang ini memiliki banyak kelemahan diantaranya menjadikan perempuan sebagai objek yang paling dirugikan dan mulai ikut campurnya negara dalam urusan moral yang privat. Multitafsirnya undang-undang yang ditolak oleh beberapa provinsi ini juga diungkapkan oleh Gus Dur. Karena beberapa dokumen Al Quran tentang menyusuipun bisa dianggap cabul. ”Mana mungkin menyusui tanpa nyopot kutang”.

Jadi pertahankan dan rawat kebinekaan kita sebagai bentuk kecintaan kita terhadap bangsa.

Mahkamah Konstitusi lahir setelah Gus Dur dijatuhkan secara politis


Perspektif Wimar
23 May 2008

Oleh: Didiet Adiputro

10 tahun reformasi bukan hanya melahirkan beberapa pemimpin bangsa yang silih berganti, pemilihan langsung, kebebasan pers, dll. Selain itu lahir juga sebuah lembaga baru yang menjadi penafsir tunggal konstitusi yaitu Mahkamah Konstitusi. Hadir di Perspektif Wimar kali ini Ketua MK, Prof.Dr. Jimly Asshiddiqie yang ditemani Cathy Sharon sebagai co host.

Ide pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) sebenarnya berkaca pada kasus impeachment Presiden Wahid. Proses pencopotan tersebut dimunculkan dan diputuskan oleh kompromi politik belaka, tanpa ada pembuktian pelanggaran terhadap konstitusi secara jelas. Maka dibuatlah MK untuk mengadili hal tersebut, sehingga pemberhentian presiden tidak hanya diputuskan oleh aspek politis semata.

MK sebagai lembaga tinggi Negara yang kedudukannya sejajar dengan DPR dan Presiden ini, memiliki beberapa kewenangan seperti menguji konstitusionalitas, memutus perselisihan sengketa, memutus perselisihan pemilu, pembubaran parpol, dan impeachment. Dengan kewenangan-kewenangan tadi, maka dalam UUD’45 dikatakan, semua hakim konstitusi yang berjumlah 9 orang tersebut haruslah seorang negarawan atau ahli hukum. Karena keputusan mereka itu final dan mengikat alias tidak bisa digangu gugat.

Biarpun belum lama berdiri, menurut Prof. Jimly, Mahkamah Konstitusi sejak tahun pertama sudah memulai berinovasi dengan tujuan menjadi organisasi yang modern dan efisien, termasuk melek internet. Misalnya inovasi yang dilakukan seperti sejak dua tahun lalu yang membolehkan pengajuan gugatan lewat internet. meskipun hingga kini belum ada yang mengajukannya lewat internet, ujar Jimly

Jimly juga menekankan pentingnya para pakar untuk mengevaluasi kembali konstitusi kita. Bahkan salah satu anggota ICMI ini juga tidak menutup kemungkinan untuk dilakukan amandemen ke 5 konstitusi kita. “asal jangan dalam waktu dekat”, ujarnya.

Gus Dur mengenai Pancasila dan Islam: Sejak Dulu Menghormati Pluralisme


Perspektif Wimar
02 June 2008

Oleh: Didiet Adiputro

Nilai-nilai Kebhinnekaan, toleransi dan pluralisme yang menjadi salah satu esensi dari Pancasila, ternyata sudah dipraktekan jauh sebelum Negara kita merdeka, bahkan sebelum pancasila itu sendiri disusun. Mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid yang menjadi narasumber di Perspektif Wimar kali ini mencoba mengungkapkan kembali pentingnya semangat toleransi dan pluralisme dalam perjalanan bangsa.

Mengenai sikap saling menghargai diantara para pendiri bangsa, Gus Dur menceritakan pada tahun 1919 ada tiga orang sepupu yang suka berkumpul. Mereka adalah H.O.S Cokroaminoto (mertua Bung Karno), KH. Hasyim Ashari (Pendiri NU) dan KH. Abdul Wahab Hasbullah (Pendiri NU). Saat itu mereka sering mendiskusikan tentang Islam dan nasionalisme. Sehingga kedua paham yang berbeda ini tidak saling dipertentangkan satu sama lain. ”dulu orang bisa ngobrol erat sekali walaupun beda aliran politiknya”, ujarnya

Ini berlaku juga dalam menyikapi bentuk negara yang ideal, dimana pada tahun 1935 dalam muktamar NU di Banjarmasin telah dibuat keputusan yang menyatakan kalau warga NU tidak harus mendirikan negara Islam jika ingin melaksanakan syariat Islam. Jadi bisa terlihat kalau dari dulu kelompok Islam sudah menghormati pluralisme. Sehingga Gus Dur pun mengakui kalau pluaralisme adalah gelombang dari masa depan.

Jika berkaca pada kasus Ahmadiyah, kebebasan beragama dan berkeyakinan yang diatur dalam konstitusi kita tampaknya belum sepenuhnya bisa dipahami oleh semua kalangan. Menurut Gus Dur, Ahmadiyah harus dibiarkan hidup meskipun fatwa sesat sudah meluncur dari MUI.

Karena bagi mantan Ketua PB NU ini, MUI hanya salah satu ormas Islam biasa yang selama ini mendapat wibawa besar sebagai kompensasi dari tidak boleh berdirinya negara Islam. Gus Dur juga yakin kalau organisasi yang fundamental dan sektarian akan merumuskan pengetian nasionalismenya masing-masing, karena UUD kita sangat nasionalistik.

Menurut Gus Dur, justru sekarang malah pemerintah yang takut pada MUI. ”MUI dan Departemen Agama harus diganti dengan orang yang kelakuannya waras”, ujar pendiri The Wahid Institute ini.

LIMA Desak MUI Abaikan Usul Fatwa Golput Haram


JAKARTA - Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti menilai tidak perlu ada fatwa mengharamkan golput. Lontaran Ray merespons usulan agar ada fatwa tersebut untuk meningkatkan partisipasi dalam Pemilu 2009.

"MUI sebaiknya mengabaikan permintaan tersebut," kata Ray di Jakarta, Minggu (14/12/2008).

Ray menyatakan usulan tersebut tidak logis dan terdengar aneh. Bahkan hal itu menunjukkan ketidaktahuan Hidayat Nur Wahid, yang mengeluarkan pernyataan tersebut, akan hakekat demokrasi dan pemilu.

Selain itu, lanjut Ray, fatwa golput haram bisa menunculkan kekhawatiran adanya campur tangan agama dalam demokrasi. Karena itu sebaiknya golput dibiarkan saja. "Bukan saja karena itu hak, tapi juga karena itu suatu kritik," tandasnya.

Akbar Sesalkan Pernyataan Hidayat Soal Golput


JAKARTA - Pernyataan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nurwahid yang mengusulkan fatwa haram golput jelang Pemilu 2009 terus menuai kecaman.

Mantan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung menilai, pernyataan Hidayat seharusnya tidak terjadi. Sebab, kata dia, agama tidak bisa dicampurkan dengan politik praktis.

"Seharusnya pernyataan itu tidak datang dari Ketua MPR. Kalau golput diharamkan, konsekwensinya bisa masuk neraka," ujar Akbar saat berdialog di Sekretariat Bang Akbar, Pancoran, Jakarta Selatan, Senin (15/12/2008).

Mantan Ketua DPR ini berpendapat, golput atau tidaknya seseorang dalam pemilu nanti, bukanlah ditentukan fatwa haram melainkan dari citra tokoh dan partai yang mengusung.

Sebelumnya, Ketua MPR Hidayat Nurwahid mengusulkan agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengesahkan fatwa haram golput. Hal ini diyakini Hidayat untuk menyadarkan umat untuk menggunakan hak pilihnya.

Ketua DPR: MUI Tak Perlu Campuri Urusan Politik


JAKARTA - Permintaan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Hidayat Nurwahid agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa haram golput, ditanggapi dingin Ketua DPR Agung Laksono.

Agung berharap MUI berkonsentarsi dalam persoalan agama dan tidak perlu mencampuri urusan politik.

"Sebaiknya MUI jangan mengurusi persoalan politik. MUI hanya mengurusi agama, sedangkan golput itu bukan urusan agama tetapi semata-mata urusan politik," ujar Agung kepada wartawan di Press Room DPR, Senayan, Jakarta, Senin (15/12/2008).

Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menambahkan, dalam UU Pemilu sudah dibahas secara jelas bahwa pemilu bukanlah sebuah kewajiban, melainkan hak setiap warga negara yang bisa atau tidak bisa digunakan.

"Tetapi anjurannya ya sebanyak mungkin digunakan, tetapi jangan dipaksakan haram, itu kan konotasinya lebih ke agama," terangnya.

Menurut Agung, yang terpenting adalah semua partai politik bisa memberikan yang terbaik untuk masyarakat. "Sebaiknya tidak ada fatwa-fatwa seperti itu," tegasnya.

Sabtu, 13 Desember 2008

Gus Dur: Poros Tengah Hutan?


Jakarta - Bukan Gus Dur namanya kalau tidak nyeleneh. Mendengar gagasan Poros Tengah jilid II, Gus Dur langsung cablak. "Tengah apa? Di tengah hutan?"

Gelak tawa hadirin pun membahana usai mengikuti acara 'Kongkow bareng Gus Dur' di Kedai Tempo, jalan Utan Kayu, Jakarta, Sabtu (13/12/2008).

"Lah iya, saya mau tanya, di tengah apa? Di tengah hutan? Atau di tengah, mati?" cetus Gus Dur. "Pokoknya bangsa gitu-gituan nggak usahlah. Nggak usahlah nyusun kekuatan," imbuhnya.

Menurut Gus Dur, parpol Islam sebaiknya tidak usah berkoalisi menjelang Pemilu 2009. Karena visi dan misinya sudah sama. Sebab yang terpenting adalah bekerja untuk kepentingan menghilangkan kemiskinan.

"Ide Poros Tengah itu semua disebabkan karena Hasyim Muzadi ingin jadi wapres. Din Syamsuddin ingin jadi wapres. Hidayat Nur Wahid ingin jadi wapres. Akhirnya jadi geger kayak gini," ujar Gus Dur.

Mantan Presiden ini juga tak terlalu menanggapi anggapan kekuatan parpol Islam kalau berkoalisi akan menjadi besar. "Halah! Ya guyon to (ketawa aja) hahaha!" ucap Gus Dur.

Gus Dur Curigai Din, Hasyim, dan Hidayat


JAKARTA - Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mewacanakan partai Islam untuk membangun poros tengah jilid II, namun Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menuding ada udang di balik batu dalam wacana tersebut.

"Nggak usah lah menyusun kekuatan itu semua karena Hasyim Muzadi ingin jadi Wapres, Din Syamsuddin juga, apalagi Hidayat Nurwahid akhirnya geger kayak begini," seloroh Gus Dur saat acara Kongkow Bareng Gus Dur di Utan Kayu No 68 H, Jakarta, Sabtu (13/12/2008).

Menurut Gus Dur koalisi partai Islam tidak perlu untuk saat ini, yang terpenting adalah bagaimana partai dapat bekerja menghilangkan kemiskinan.

Gus Dur tidak merespons positif wacana tersebut karena mengangap konsepnya tidak jelas.

"Lah ya saya mau tanya tengahnya apa, tengah hutan atau tengah mati, pokoknya kaya gitu ga usah lah," ujar Gus Dur enteng.

Gus Dur Mengaku Terpaksa Serukan Golput


JAKARTA- Mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Abdurahman Wahid atau Gus Dur mengaku terpaksa menyerukan kepada pendukungnya untuk golput pada pemilu 2009.

Gus Dur beralasan, hal tersebut dilakukan karena Komisi Pemilihan Umum telah melakukan sejumlah kecurangan di berbagai pemilihan kepala daerah.

"Saya terpaksa menyerukan golput karena kecurangan KPU dimana-mana," kata Gus Dur dalam acara "Kongkow Bersama Gus Dur" di Kedai Tempo Utan Kayu Jakarta, Sabtu (22/11/2008).

Gus Dur menambahkan dengan bersikap golput akan terlihat pihak-pihak mana saja yang diuntungkan dan dirugikan.

"Semua pilkada itu penuh kecurangan, itu bukan pilkada sebetulnya tapi pilkadal," sentilnya yang disambut tawa peserta diskusi.

DPW PKB Jatim Ikuti Seruan Gus Dur untuk Golput


SURABAYA - Dewan Syuro Dewan Pimpinan Wilayah Partai Kebangkitan Bangsa Jawa Timur, menyatakan akan mengikuti seruan Gus Dur untuk golput dalam pemilihan presiden dan pemilihan legislatif pada pemilu 2009.

"Haram hukumnya untuk memilih pada pilpres 2009," ujar Fuad Amin Ketua Dewan Syuro DPW PKB di sela-sela rapat Dewan Syuro PKB Jatim di Hotel Grand Kalimas Surabaya, Kamis (27/11/2008).

Selain akan golput dalam pilpres, DPW PKB Jatim juga menyerukan agar golput juga untuk pemilihan anggota legislatif tingkat pusat dan tingkat provinsi.

Bahkan DPW PKB Jatim berjanji akan mengosongkan suara pemilih untuk DPR RI dari daerah pemilihan Surabaya dan Sidoarjo karena Muhaimin Iskandar seteru Gus Dur dipilih dari daerah ini.

Bahkan DPW PKB malah malah menyerukan untuk memilih caleg dari partai lain asalkan pro Gus Dur. Namun seruan ini tidak berlaku untuk tingkat kabupaten atau kota.

"Namun untuk tingkat kabupaten atau kota kita masih menganggap penting. Terutama caleg yang pro Gus Dur," ujar Amin.
Untuk mengamankan seruan ini, DPW PKB akan menurunkan para kyai-kyainya ke desa-desa.

Menyinggung kemungkinan islah dengan kubu Muhaimin Fuad menyatakan jika dalam waktu dekat kemungkinan itu tertutup. "Momennya ya muktamar. Kita ini ibarat penumpang kapal yang sedang bersama-sama mengaramkan kapal," ujar Fuad.

Haramkan Golput, Langgar Hak Warga Negara


JAKARTA - Ketua MPR Hidayat Nur Wahid diminta segera mencabut usulan fatwa haram terhadap warga yang memilih golput alias tidak menggunakan hak pilihnya pada pemilu mendatang.

Hal tersebut disampaikan Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia) Fadjroel Rachman kepada okezone melalui pesan singkat, Sabtu (13/12/2008).

"Golput adalah hak konstitusional warga negara. Hak memilih untuk tidak memilih," tambah Fadjroel.

Menurutnya, sangat keliru dan tidak proporsional mengaitkan golput dengan keyakinan agama. "Jadi melarang golput, apalagi mengharamkannya akan melanggar hak demokrasi warga negara Indonesia," tuturnya.

Diberitakan sebelumnya, Hidayat meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk mengeluarkan fatwa haram bagi warga negara Indonesia yang golput pada pemilu nanti.

Anas: Golput Adalah Hak Asasi Pemilih


JAKARTA - Calon pemilih memiliki hak untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau golput pada pemilu nanti. Oleh karena itu, menurut Ketua DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, fatwa haram golput tidak diperlukan.

Menurut Anas, memilih adalah hak bukan kewajiban. Karena itu golput bukanlah perkara haram. "Tidak memilih adalah hak meski tidak baik bagi demokrasi," ujarnya kepada wartawan, Sabtu (13/12/2008).

Fenomena golput, lanjutnya, justru harus dijadikan otokritik dan introspeksi bagi semua lembaga politik terutama partai-partai yang serius memperbaiki diri dan kinerja.

"Golput atau gerakan golput bukan dilawan dengan fatwa haram. Perlawanan demokratik terhadap golput dengan gerakan sadar memilih inilah yang harus ditempuh oleh partai-partai politik," tandasnya.

Anas menambahkan, yang mesti diperhatikan adalah kemungkinan golput dan faktor teknis serta antisipasi ketelitian administrasi dari KPU.

"Tak ketinggalan akses informasi pemilu kepada pemilih adalah obat yang manjur," pungkasnya. (lsi)

Rabu, 10 Desember 2008

Ziarah Makam Mbah Ud, Pagerwojo Sidoarjo





Gus Dur, Kiai dan Khitah NU


21 Sep 2006 07:47:55
A. Mustofa Bisri

Syahdan; begitu Kiai Cholil Bisri— Allah yarhamuh— dan kawan-kawan dari NU yang mempersiapkan berdirinya partai (PKB), termasuk H Matori Abdul Djalil, merasa sudah siap segala sesuatunya, mereka pun datang ke PB NU untuk melapor.

Gus Dur yang waktu itu menjadi ketua tanfidziyah langsung mengadakan rapat-rapat yang akhirnya membentuk tim untuk memfasilitasi terbentuknya partai baru (PKB) yang tugasnya antara lain menyusun pengurus pertama.

Bila kemudian hampir semua tim PB NU masuk sebagai pengurus pertama PKB tidak ada yang mempersoalkan, tidak demikian halnya dengan penunjukan H Matori Abdul Djalil untuk menjadi ketua umumnya. Banyak sekali pihak yang menentang penunjukan tersebut. Gus Dur lah orangnya yang paling gigih mengusulkan Matori untuk menjadi Ketum. Dengan bahasa khasnya Gus Dur antara lain beralasan, "Ini ketua partai, bukan ketua NU. Kalau ketua NU memang sebaiknya dicarikan yang kiai; kalau ketua partai mesti yang juga bisa ’berkelahi’." Bahkan, konon Gus Dur sempat menyatakan, bila semua tidak setuju, dia akan mendirikan partai sendiri dengan Matori.

Hubungan H Matori Abdul Djalil— terutama sebelum menjabat menteri pertahanan RI di zaman Presiden Megawati dan dipecat dari PKB— dengan Gus Dur memang sangat dekat. Begitu dekatnya, hingga ada saja yang menjulukinya ’anak emas’ Gus Dur.

"Saya sendiri," kata tokoh yang sempat digelari ’raja pokil’ itu suatu ketika, "sering baru bisa memahami apa yang dimaui Gus Dur setelah dua tahun kemudian. Waktu pertama mendengar ungkapan atau melihat sikapnya, saya juga tidak mudheng, bahkan bingung."

Jadi, loyalitas Matori kepada Gus Dur— waktu itu— memang tidak sekadar loyalitas bawahan kepada atasan. Apalagi, dia juga pasti menyadari bahwa penerimaan para kiai dan lainnya terhadap dirinya, sehingga dalam muktamar PKB yang pertama berhasil terpilih menjadi ketua umum untuk kedua kalinya, tidak terlepas dari ’berkah’ Gus Dur.

Siang berganti malam, malam berganti siang. Minggu berganti bulan, bulan berganti tahun. Akhirnya— seperti kita ketahui— setelah sempat ’menguasai’ Indonesia, Gus Dur menguasai PKB dan Matori tersingkirkan. Sejak itu PKB benar-benar di bawah kendali Gus Dur sepenuhnya; seperti halnya NU sebelumnya.

Namun agak berbeda dengan ketika memimpin NU, dalam memimpin partai, banyak kebijaksanaan Gus Dur yang sulit dipahami, termasuk dan terutama oleh para kiai yang dahulu menjadi pendukung fanatiknya.

Bahkan, sering kebijaksanaan Gus Dur bertabrakan dengan kehendak para kiai itu; seperti seringnya Gus Dur membekukan DPC-DPC tanpa alasan yang jelas. Sampai-sampai ada saja yang menjuluki PKB sebagai partai kutub, saking banyaknya DPC yang (di)beku(kan).

Puncaknya, pertikaian di kalangan elite PKB menjadi semakin carut-marut. Saya sendiri, karena diminta saudara-saudara di bawah, sudah ikut berusaha mendekatkan kedua belah pihak hingga akhirnya kehabisan cara. Masing-masing pihak yang berseberangan seolah-olah sudah semakin tidak lagi memikirkan PKB dan warga pendukungnya.

Bagi saya sendiri, pertikaian itu sungguh absurd. Mereka yang bertikai— yang notabene para politikus NU— justru lebih memercayai pihak luar untuk menyelesaikan masalah mereka. Bahkan, belakangan di antara mereka, kabarnya, ada tokoh yang meminta Amien Rais— yang dulu sering dikecam saat berseberangan dengan Gus Dur— untuk menolong menjadi mediator. Lucu dan sekaligus mengasihankan!

Boleh jadi, sikap tokoh yang mencerminkan ketidakberdayaan itu disebabkan pada hakikatnya pertikaian di elite PKB bersumber dan bermuara dari dan kepada dua puncak pimpinan yang justru menjadi kekuatan inti PKB, dua pihak yang seharusnya menjadi pemimpin dan penyelesai masalah-masalah intern: Gus Dur dan para kiai ("Langitan").

Karena keyakinan kedua pihak inilah kekuatan PKB yang sesungguhnya, saya pun dari awal dengan sederhana menyarankan adanya pertemuan kedua kekuatan itu untuk menyelesaikan masalah intern partai mereka. Namun— mungkin saya dianggap bukan ’orang dalam’— saran saya itu tak digubris.

Saya sendiri sudah sampai kepada kesimpulan yang mungkin dianggap banyak orang sebagai ngoyoworo: Gus Dur dengan berbagai kebijaksanaan dan manuver internnya yang ditentang para kiai itu, barangkali— wallahu a’lam— memang sengaja ingin membuat para kiai itu jengkel. Lho, kenapa? Untuk apa?

Marilah sejenak kita kembali menelusuri perjalanan kiprah Gus Dur agak lebih awal. Sebelum dipilih menjadi ketua umum PB NU dalam Muktamar Situbondo 1984, Gus Dur dikenal sebagai pejuang kultural yang memercayai keampuhan perjuangan kultural. Gus Dur ikut dalam Majelis 24 yang merespons secara serius seruan "Kembali ke Khitah 1926!" Majelis kemudian membentuk Tim 7 dengan tugas merumuskan konsep awal Khitah NU dan Gus Dur ditunjuk sebagai ketua tim.

Draf hasil kerja Tim 7 setelah dilaporkan ke Majelis 24 kemudian dibawa ke Munas di Situbondo di mana Gus Dur menjadi salah satu pimpinan Subkomisi Khitah. Dan akhirnya konsep khitah yang dipercayai banyak pihak sebagai reaksi dari ’kegilaan’ warga NU terhadap politik itu dibahas dan menjadi salah satu keputusan muktamar yang memilih Gus Dur menjadi ketua umum PB NU untuk kali pertama.

Gus Dur bersama beberapa tokoh NU yang ’nonpolitik’ kemudian dengan penuh semangat menyosialisasikan Khitah NU yang berdampak antara lain: gembosnya PPP di bawah J. Naro pada waktu itu. Sampai dipilih kembali— secara aklamasi— sebagai ketua umum PB NU di Muktamar Jogja 1989, Gus Dur tetap konsisten dengan sikap khitahnya yang sering membuat mereka yang berpolitik pusing kepala.

Ketika kemudian Gus Dur terjun langsung ke politik praktis, saya pun teringat suratnya yang ditulis dari Amsterdam 1969 yang antara lain merencanakan mengajak saya memikirkan bagaimana ’mendidik’ umat (atau bangsa, saya lupa) untuk berpolitik yang baik. Namun, kemudian sesekali saya masih melancarkan kritik atas ’kebijaksanaan-kebijaksanaan politik’-nya yang belakangan rupanya kurang berkenan di hatinya.

Saya pun akhirnya diam dan merenung dan bermuara kepada kesimpulan yang ngoyoworo tadi. Gus Dur memang sengaja ingin membuat para kiai yang berpolitik itu jengkel terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan politiknya.

Nalarnya begini: Gus Dur menilai kiai itu tidak dalam maqam berpolitik (praktis) yang lebih mengutamakan menang-kalah ketimbang benar-salah. Kiai biasa bergerak dalam medan benar-salah dan tidak terbiasa dengan permainan di ranah menang-kalah.

Jadi, sebaiknya para kiai tidak usahlah berjuang di politik praktis. Toh, perjuangan mereka selama ini di medan mereka sendiri sudah cukup mulia. Tentu Anda masih ingat komentar Gus Dur tentang Kiai Abdurrahman Chudlori, "Biarlah Kiai Abdurrahman berjuang di NU saja, lebih pas." Gus Dur juga pernah menasihati saya, ketika saya kritik ’kebijaksanaan politik’-nya, agar saya menekuni budaya saja, tak usah ngurusi politik!

Ketika Gus Dur melihat kiai itu terus ngotot— mungkin karena sudah telanjur mendarah daging— berpolitik (praktis), dia pun ’menyiksa’ mereka di ranah yang dianggapnya bukan maqam mereka itu. Harapannya, mungkin, para kiai itu akan kaku ati, frustrasi, tidak kerasan, dan meninggalkan kehidupan berpolitik-praktis, kembali ke maqamnya semula.

Apa memang demikian? Wallahu wa Gus Dur a’lam. Yang saya tahu agak pasti, para kiai yang berseberangan dengan Gus Dur itu memang benar-benar ’tersiksa’, minimal bingung; terutama setelah kubunya kalah dalam pengadilan. Mau bikin partai lagi, siapa yang menjamin tidak akan bernasib sama dengan PNU-nya Syukron Makmun atau PKU-nya Salahuddin Wahid? Atau siapa yang menjamin nanti partai baru itu tidak hanya untuk kendaraan pihak lain lagi sebagaimana PKB sendiri?

Waba’du; lalu siapa yang memikirkan warga pendukung PKB ya?

A. Mustofa Bisri, Rais Syuriah PBNU, pimpinan Pondok Pesantren Raudhatul Thalibien di Rembang

Selasa, 09 Desember 2008

Gus Solah Dukung Gus Dur Bentuk Gatara

Insaf Albert Tarigan - Okezone

JAKARTA - Salahudin Wahid alias Gus Solah mendukung upaya kakak kandungnya, Abdurahman Wahid alias Gus Dur dalam membentuk Gerakan Kebangkitan Rakyat (Gatara).

"Mungkin itu bentuk perlawanan dari Gus Dur. Karena dia diperlakukan tidak adil secara hukum oleh KPU," ujar Gus Solah di Kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta, Selasa (9/12/2008).

Bentuk ketidakadilan itu menurutnya, bisa terlihat dari putusan yang dikeluarkan Mahkamah Agung soal PKB dan kemudian ditindaklanjuti oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Sejauh yang saya tahu, putusan MA itu mengakui Muktamar Semarang yang Dewan Syuro-nya Gus Dur. Tapi secara de facto bukan, malah mengakui Muktamar Ancol," ungkap Gus Solah yang menjabat sebagai Ketua Tim 45 DIB, di Kantor KPU, Jalan Imam Bonjol, Jakarta, Selasa (9/12/2008).

Keputusan tersebut dianggap Gus Solah salah. Karena dalam partai, yang paling penting adalah faktor hukum, bukan fisik partai.

"Fisik itu menguasai kantor, gedung. Kalau secara hukum tidak diakui," terangnya. (hri)

Minggu, 07 Desember 2008

Pro Gus Dur


Kita sebagai orang yang cinta dengan beliau bersikap dan berfikir bagaimana gagasan serta ide beliau direalisasikan atau bagaimana kita bisa mengembangkan ide dari gus dur.saya selalu berfikir mengapa bangsa yang begitu kaya dengan SDA dan SDM tapi menjadi negara yang kaya hutang dari mana logika bisa nerima itu kan ndak masuk akal, saya sangat sepakat dengan pemikiran gus dur mengenai kebangsaan, demokrasi serta keagamaan...
1. Kebangsaan: negara indonesia sudah final yaitu negara kesatuan repoblik indonesia jangan diotak-atik untuk dijadikan negara berdasar salah satu agama di indonesia.mengingat bahwa bangsa kita ini terdiri dari beberapa agama dan suku, terus untuk agama islam itu akan mengacu kemana islam arab saudi, islam iran, islam irak atau yang mana lagi? jadi bentuk yang sekarang insyaaloh itu sudah baik dan lebih bermashlahat.
2. Demokrasi: gus dur tetap memberikan keleluasaan bagi setiap insan di indonesia untuk mengembangkan potensi jangan ada lagi pembetasan contao kasus adalah mengenai Aturan Capres biarkan rakyat yang milih jangan dibatasi karena itu adalah bukti dasar dari perkembangan demokrasi, yang mana sebenarnya baru lahir dijaman gus dur.coba pikir bagaimana demokrasi jaman orba semua harus akan susah berkembang bahkan yang bernai beda dengan pemerintah tak segan-segan untuk dipenjarah iya kan!!!
3. Keagamaan: sekali lagi saya sepakat dengan gus dur mengenai kehidupan beragama di indonesia yaitu jangan ada lagi paksaan dalam kehidupan beragama,biarkan perbedaan muncul dan terkoreksi dengan sendirinya oleh kemajuan dan perkembangan pendidikan bangsa kita, saya yakin bahwa perbedaan itu dari tahun ketahun tentu akan bertambah karena sesuai dengan wasiat kanjeng Nabi bahwa umatku nanti akan terpecah-pecah... nah jadikan itu sebagai isyarat agar kita lebih siap untuk menerima perbedaan bukannya berantem.

Semoga saja gus dur sekeluarga diberi kesehatan. amin