Jumat, 27 Februari 2009

Ikut Islam yang Mana?

Koran SINDO--------Selasa, 5 Januari 2009


PENULIS artikel ini tahu bahwa judul di atas akan membuat marah banyak orang.Tetapi, penulis membuat judul seperti itu karena memang kenyataan mutakhir menunjukkan hal demikian.


Dalam buku yang membahas kepresidenan George W Bush yang masih menjadi Presiden AS, disebutkan kegalauannya dalam menghubungi kaum muslimin. Dia menyebutkan, banyak muslim yang dihubunginya ternyata tidak mau tahu dengan tindakantindakan teror yang dilakukan sedikit orang dalam berbagai gerakan agama tersebut.

Maka sebagai seorang konservatif Kristen, dia mengalami kesulitan dalam menghubungi berbagai gerakan Islam. Walaupun dia merasa ‘bermurah hati’ untuk mengerti bahwa beberapa gerakan Islam memang berbeda cara pandang, dia tidak tahu mana yang dihubunginya dan mana yang tidak.Kalau Presiden AS tidak mengetahui hal itu, bagaimana dengan orang-orang “awam”.

Di kalangan berbagai gerakan Islam, sebagaimana juga terjadi dengan kalangan berbagai agama yang lain, mengenal berbagai cara untuk menghubungi “pihak luar”. Meski demikian, tak urung juga “pihak luar” itu dibuat bingung oleh pembedaan tersebut. Mereka dibuat bingung lagi,ketika terlontar pengakuan terus terang oleh kalangan Kristen di berbagai negara Eropa bahwa mereka memiliki partai yang bernama Uni Kristen Demokrat (Christian Democratic Union Party/CDU) yang dewasa ini sedang memerintah di Jerman dengan Perdana Menteri Angela Merkel.

Di hampir semua negara Eropa, partai tersebut merupakan “alat politik yang terbuka” dan memerintah karena memiliki jumlah mayoritas di parlemen. Kalau di sana boleh demikian, mengapa di negeri-negeri Muslim tidak? Padahal, yang dikhawatirkan banyak “orang luar” adalah terjadinya hal itu.

Mendengar istilahnya saja mereka sudah tidak mau, apalagi menjadi anggota. Ini seperti nasib Partai Masyumi di tahun-tahun lima puluhan di negeri kita. Sebab, keterlibatannya dalam berbagai gerakan yang terang-terangan menuju ke sebuah negara Islam di Indonesia, kemudian dia pun dibubarkan pemerintah. Sekarang pun sejumlah partai menamakan dirinya sebagai partai Islam,tetapi juga menyebutkan tidak akan mendirikan negara Islam.

Kini, terjadi perdebatan antara berbagai gerakan Islam itu melawan Hizbut Tahrir (Partai Kemerdekaan). Masalahnya, gerakan itu “membungkus” keinginan mendirikan negara Islam itu dengan menyatakan ingin memiliki “negara kekhalifahan”. Begitulah cara orang menyamarkan tujuan politik masingmasing. Kaum muslimin memiliki kegiatan bermacam-macam.

Semuanya mendasarkan diri pada berbagai ajaran resmi/ formal Islam.Mereka ini yang penulis namai Islam pertama. Namun, ada yang bergerak di bidang politik yang penulis namai sebagai Islam kedua. Untuk berbagai perkumpulan Islam yang lahir dan berkembang secara budaya, penulis namai Islam ketiga.

Kalau Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Al Wasliyah, dan berbagai gerakan Islam yang memiliki pola kelahiran yang hampir sama, penulis menganggap bahwa mereka adalah kaum muslimin/ organisasi Islam yang disebutkan sebagai Islam ketiga.Ada juga gerakan-gerakan yang lahir berikutnya masuk dalam golongan tersendiri, yang bagaimanapun juga berhak memasuki Islam pertama, kedua, dan ketiga. Ini masuk dalam golongan Islam keempat.

Dengan merujuk pada hal-hal tersebut di atas, menjadi nyata bagi kita bahwa berbagai hal tidak dapat disederhanakan begitu saja,sebagaimana orang menyebut kalau Islam itu tunggal.Tetapi yang pasti,semua orang Islam bertuhan satu, yaitu Allah SWT, dan Muhammad SAW adalah pesuruh-Nya. Perbedaan ajaran untuk mengenal Allah SWT dan Rasul-Nya maupun lain-lain tidak memisahkan berbagai gerakan Islam secara mutlak, melainkan hanya bersifat periferal.

Hal seperti itulah yang membuat Presiden Bush akhirnya kehilangan pengertian atas Islam. Pengertian seperti diuraikan di atas akan memudahkan kita memahami gerakan-gerakan Islam yang ada sekarang. Banyak perbedaan maupun persamaan di dalamnya. Seperti penulis yang menyatakan, sebaiknya Israel dan Palestina berunding saja tentang sebuah negeri tempat kaum Palestina itu.

Sementara, seorang tokoh dari kategori Islam kedua bernama Ahmad Sumargono menyatakan bahwa sebaiknya penulis makalah ini yang mendorong Israel dan Palestina untuk melahirkan negara baru itu.Jadi, dalam hal ini kita harus melihat perbedaan-perbedaan seperti itu biasa-biasa saja,bukan? (*)

Jakarta,1 Januari 2009

Benarkah Hari Bersejarah

Hari Rabu,3 Desember lalu,menjadi catatan istimewa dalam sejarah bangsa kita. Pada hari itu, di Kantor The Wahid Institute digelar sebuah pertemuan berbagai pihak dalam rangka deklarasi adanya ormas baru yang bernama Gatara (Gerakan Kebangkitan Rakyat).


Acara itu ramai diikuti orang.Meski demikian,semula penulis memperkirakan saat itu sebagai hari biasa.Tapi, ternyata orang-orang yang diundang untuk menyaksikan kejadian tersebut menganggap bahwa lahirnya Gatara sebagai sebuah tonggak baru bagi upaya menegakkan demokrasi di negeri kita.

Demikian pula semua pembicara maupun orang yang belum mendapat kesempatan bicara di atas panggung, mereka menganggap berdirinya Gatara adalah kejadian penting. Semua orang menganggap, termasuk penulis sendiri, peristiwa itu adalah satu tonggak baru dari rangkaian peristiwa lain.

Tepatnya, salah satu tonggak yang akan dipergunakan dalam menegakkan demokrasi di negeri kita. Awalnya penulis tidak memperkirakan hal itu.Namun ketika penulis menyerahkan perkembangan keadaan ini kepada Yenny Zannuba Wahid dan Aries Junaidi,mereka pun “bergerak” sendiri.

Ini di luar persangkaan penulis artikel ini.Sesuatu di luar dugaan,gerakan mereka disambut khalayak.Ini terlihat dengan hadirnya orang-orang Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) maupun para pejuang wanita yang tergabung dalam Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa (PPKB).

Bahkan banyak para pemimpin lokal PKB datang.Ada yang dari Maluku dan sebagainya.Tapi yang lebih penting lagi adalah mereka yang datang bukan hanya dari lingkungan PKB sendiri,melainkan justru “orang luar”PKB di Jakarta. Lebih-lebih lagi karena yang datang justru mereka yang diperkirakan akan “muncul”di masa yang akan datang.

Inilah sebabnya penulis menilai hari itu menjadi “hari istimewa” bagi kita.Pada siang harinya,penulis mengatakan kepada seorang teman bahwa hari bersejarah itu akan tercapai di masa depan yang dekat ini.Penulis sendiri memperkirakan pada minggu pertama awal Januari 2009.

Sebagaimana dimaklumi,pada waktu belakangan ini mulai muncul kesadaran di kalangan anak-anak muda kita yang selama ini mencukupkan diri dengan semangat. Mereka yang diperkirakan akan memperkuat pihak-pihak pemerintahan sekarang telah muncul kesadarannya bahwa dengan sikap seperti itu tidak akan pernah tercapai tujuan yang diperlukan.

Sekarang mereka telah menyadari pentingnya menumbuhkan solidaritas di antara sesama bagian dari masyarakatjikamenginginkantercapainya momentumperubahan sosial.Apalagi jika hal ini didukung bagian-bagian lain masyarakat yang juga mengerti pentingnya arti solidaritas.

Kini di kalangan anak muda telah muncul kesediaan untuk mengikuti pemimpin “dari luar”. Jadi tidak seperti dahulu, yang hanya menerima kepemimpinan pihak sendiri.Hal ini terjadi karena semakin banyaknya terjadi pengenalan satu dengan lain pihak. Ini sudah tentu merupakan kabar gembira, apalagi jika “golongan menengah” juga turut serta dalam hubungan tersebut.

Kelompok-kelompok yang termasuk golongan menengah ini mencakup para pengusaha baik dari keturunan Tionghoa maupun lainnya.Mereka yang selama ini tidak pernah turut serta dalam kegiatan-kegiatan transformatif itu sekarang mulai terbiasa dengan perjuangan multisektoral tersebut.

Di sinilah peranan para tokoh masyarakat yang dahulunya berjuang sendiri-sendiri saja. Dengan adanya kesadaran untuk menempuh perjuangan yang multisektoral itu,dengan sendirinya akan lebih banyak halhal transformatif dapat dicapai. Kebersamaan ini juga terjadi karena para pemimpin berbagai golongan itu dihadapkan pada arogansi kekuasaan yang diperlihatkan oleh birokrasi sekarang.

Prof Dr Tuty Heraty Nurhadi dari Universitas Indonesia pernah menyatakan bahwa komunikasi antargolongan di negeri kita terputus- putus oleh berbagai sekat.Akibatnya terjadi keterpecahan. Setiap golongan masyarakat mempunyai pengertian sendiri akan istilah-istilah yang dipergunakan.

Golongan atas menggunakan istilah sendiri yang tidak dimengerti oleh lapisan-lapisan lain dalam masyarakat. Seperti kata “diamankan” yang bagi aparat keamanan berarti ditangkap. Pengertian-pengertian yang berbeda ini dicerna oleh beragam lapisan yang berbeda-beda dalam masyarakat kita.Nah,hendaknya para birokrat dan pemimpin kita mengetahui hal ini jika ingin tetap dihargai orang.Sederhana saja,bukan?(Koran Sindo,11 Desember 2008)

Gus Dur Diusulkan Jadi Juru Damai Timur Tengah

(Jawa Pos, 31 Desember 2008)
JAKARTA - Indonesia harus mengambil peranan penting untuk mengakhiri konflik Israel dan Palestina. Sejumlah elemen masyarakat meminta pemerintah mengirim duta untuk menjadi juru damai di tanah konflik, Timur Tengah.

Salah satu tokoh yang diusulkan untuk menengahi konflik di Timur Tengah adalah mantan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Usul itu datang dari GP Ansor, Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), dan FKB DPR.

''Indonesia harus tampil sebagai pendamai utama. Gus Dur harus dimanfaatkan menjadi juru damai bagi dua kutub, Israel dan Palestina. Sebab, Gus Dur punya hubungan yang baik dengan kedua pihak,'' kata Ketua FKB DPR Effendy Choirie saat konferensi pers bersama di Kantor PP Gerakan Pemuda Ansor kemarin (30/12).

Ketua Umum PP GP Ansor Saifullah Yusuf menambahkan, usul mengirim Gus Dur itu merupakan terobosan baru untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina yang tidak pernah mengalami kemajuan. ''Ini bagian dari ikhtiar sehingga pemerintah Indonesia tidak sekadar mengutuk atau mengecam,'' kata Saifullah Yusuf.

Sementara itu, Ketua KISDI Ahmad Soemargono menambahkan, tidak ada salahnya SBY memberikan mandat kepada Gus Dur untuk menjadi juru damai di Timur Tengah. Dengan melakukan hal tersebut, Indonesia punya andil besar dalam mewujudkan perdamaian dunia.

Hanya, Ahmad Soemargono mengingatkan, Indonesia tetap harus mewaspadai kalau Israel meminta persyaratan-persyaratan khusus sebelum menerima kehadiran duta Indonesia menjadi juru damai. Misalnya, meminta pemulihan hubungan diplomatik. ''Harus diantisipasi segala kemungkinannya,'' katanya.

Pemerintah dinilai kurang tegas dalam mengambil sikap terkait infasi Israel ke Jalur Gaza, Palestina. Kritikan tersebut muncul dari Ketua Umum DPP Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) Wiranto yang melihat peristiwa penyerangan Israel sebagai bentuk penjajahan, di mana konstitusi Indonesia mengamanatkan untuk menghapus segala bentuk penjajahan di atas dunia.

''Pemerintah harus keras,'' ujar mantan Pangab tersebut saat mengunjungi Panti Asuhan Yayasan Dakwah Islamiah di kawasan Condet, Jakarta Timur, kemarin (30/12). Dia berharap tindakan tegas itu bukan hanya disimbolkan melalui kutukan dan pernyataan politik.(tom/cak/pri),Perpustakaan The WAHID Institute

Senin, 23 Februari 2009

Gus Dur, Tionghoa, Indonesia

Oleh: Sumanto Al Qurtuby

RABU tanggal 10 Maret 2004, KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur ditahbiskan sebagai "Bapak Tionghoa" oleh beberapa tokoh Tionghoa Semarang di Kelenteng Tay Kak Sie, Gang Lombok, yang selama ini dikenal sebagai kawasan "Pecinan" (Suara Merdeka, 11/3/04).

Dalam sambutannya -sambil mengenakan baju congsan, baju kebesaran Tionghoa- Gus Dur mengatakan, penganugerahan itu bukan suatu masalah, karena dirinya merupakan keturunan Bangsa Tionghoa dari marga Tan.

Sudah beberapa kali Gus Dur menyatakan sebagai keturunan Tionghoa. Bahkan secara eksplisit dia pernah menyebutkan, dirinya masih keturunan Tan Kim Han, salah seorang panglima perang yang menggulingkan Kerajaan Majapahit dan ikut mengantarkan pendirian Kerajaan Islam Maritim, Demak.

Tan Kim Han adalah tokoh Muslim Tionghoa pada abad ke-15/16 yang diutus Jin Bun alias Raden Patah, yakni Raja Demak pertama bersama Maulana Ishak (sebagian riwayat menyebut ayah Sunan Giri) dan Sunan Ngudung (konon ayah Sunan Kudus) untuk mengadakan revolusi politik pada Majapahit.

Apakah Tan Kim Han yang disebut Gus Dur tersebut tokoh "fiktif" atau "historis", memang susah untuk membuktikan. Tetapi uniknya, Pemerintah Beijing belum lama ini (akhir 2003 lalu) mengundang Gus Dur ke China untuk meresmikan monumen Tan Kim Han (?). Gus Dur yang semestinya hadir pada launching buku Arus Cina-Islam-Jawa, di Jakarta 19 November 2003, batal datang karena menghadiri acara itu. Peneliti Prancis, Damais, juga pernah meneliti situs-situs, terutama makam di Troloyo/Trowulan (bekas ibu kota Majapahit). Hasil penelitian menyebutkan bahwa di sana terdapat beberapa makam Muslim, yang salah satunya bernama Syekh Abdul Qodir "Al-Shini" (Syekh Abdul Qodir dari "China"). Nama itulah yang diidentifikasi oleh Gus Dur sebagai Tan Kim Han.

Memang, tidak mudah untuk mengecek akurasi data sejarah termasuk klaim bahwa Gus Dur sebagai keturunan Muslim Tionghoa, Tan Kim Han. Karena itu muncul spekulasi apa yang disampaikan Gus Dur dalam berbagai kesempatan sebagai keturunan Tionghoa penuh dengan muatan politis. Yakni untuk menarik simpati bangsa Tionghoa, kemudian memberikan dukungan politis (dan ekonomi tentunya) kepadanya.

Penggunaan (untuk tidak menyebut "eksploitasi") simbol-simbol kebudayaan tertentu untuk meraup dukungan politik pragmatis sudah menjadi bagian (trade mark) dari sejarah kepolitikan manusia sejak klasik.

Tetapi lepas dari ada tidaknya nuansa politis atas klaim Gus Dur sebagai "berdarah" Tionghoa, harus diakui dia adalah salah satu tokoh nasional yang berani "pasang badan" atas tindakan diskriminatif Tionghoa yang dilakukan, terutama oleh rezim Orde Baru. Gus Dur dikenal publik sebagai tokoh yang berpandangan universal. Karena itu, saat dia menjadi presiden segera mencabut Instruksi Presiden No 14/1967 yang berisi larangan segala kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat China yang dilakukan di Indonesia.

Seiring dengan itu, Gus Dur menerbitkan Keputusan Presiden No 6/2000 yang memperbolehkan bangsa Tionghoa mengekspresikan kebudayaan termasuk kebebasan menjalankan agama di Indonesia. Pada saat kepemimpinan Gus Dur, Konghucu yang merupakan agama leluhur bangsa Tionghoa mendapatkan tempat yang sama bersanding dengan agama-agama lain.

Pencabutan Inpres yang diskriminatif seraya penerbitan Keppres yang lebih "manusiawi" oleh masyarakat Tionghoa dianggap sebagai "angpau" yang tiada ternilai harganya. Dilihat dari perspektif tersebut, penganugerahan Gus Dur sebagai "Bapak Tionghoa" adalah hal yang wajar.

Aspek Politik

Yang agak aneh barangkali label Tionghoa itu. Seolah masyarakat Tionghoa di negeri ini mempercayai genealogi Gus Dur sebagai Tionghoa tanpa melakukan cross check benar dan tidaknya klaim tersebut. Kenapa anugerah itu tidak diberikan kepada orang Tionghoa yang sudah diketahui "ketionghoaannya", dan sudah dikenal publik luas perjuangannya dalam membela hak-hak minoritas Tionghoa? Karena itu saya menilai, aspek politiknya lebih kental dalam penganugerahan "jubah congsan", ketimbang didasarkan pada fakta dan realitas kesejarahan.

Aspek politik yang dimaksud adalah hasrat bangsa Tionghoa untuk mendapatkan perlindungan, baik secara politik maupun kebudayaan. Gus Dur dinilai mampu menciptakan "rasa aman", karena ketokohan dan perjuangannya melintasi batas-batas etnis dan kebudayaan.

Bangsa Tionghoa memang membutuhkan patron tokoh nasional yang berjiwa universal, berpandangan luas, dan tidak kerdil. Penderitaan tiada akhir yang mereka alami sejak zaman kolonialisme Belanda telah membuka mata bangsa Tionghoa akan pentingnya tokoh politik yang berwawasan "lintas kebudayaan". Sejak peristiwa Chinezenmoord (pembantaian orang-orang China) di Batavia 1740, kemudian pemberontakan Kudus 1918, telah menimbulkan luka yang dalam pada diri masyarakat Tionghoa. Ironisnya setelah Indonesia merdeka, terjadi lagi peristiwa rasial anti-Tionghoa yang formal dilakukan oleh negara dalam bentuk PP No 10/1960.

Peraturan Pemerintah Nomor 10 itu kemudian berbuntut panjang, dengan terjadinya tindakan rasial di Jawa Barat pada 1963 yang dilakukan oleh Militer Angkatan Darat. Buku Pramoedya Ananta Toer, Hoakiau di Indonesia (terbit tahun 1960) ditulis sebagai reaksi atas PP No 10. Perlakuan diskriminatif atas Bangsa Tionghoa tersebut juga dilakukan oleh rezim Orde Baru. Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 seperti yang saya sebutkan di atas dijadikan sebagai alat untuk "membersihkan" segala hal yang berbau Tionghoa. Puncaknya, pada Mei 1998 kembali terjadi peristiwa memilukan di negeri ini. Yakni penjarahan dan pemerkosaan massal atas bangsa Tionghoa. Ironis memang, karena kita tahu bangsa Tionghoa bersama komponen bangsa lain telah merumuskan aspirasi perjuangan nasionalnya dalam Pancasila.

Mengapa semangat rasialisme anti-Tionghoa bisa terjadi dalam alam Indonesia Merdeka? Di samping Indonesia memiliki Pancasila, bukankah pihak etnik Tionghoa juga punya saham dalam gerakan kemerdekaan nasional sampai pencarian input untuk Panitia Persiapan Kemerdekaan menjelang akhir pendudukan Jepang? Bukankah sumbangan Bangsa Tionghoa pada revolusi juga ada?

Tidak semua etnis Tionghoa bergabung dengan Po Ang Tui yang berpihak pada Belanda, sebagaimana halnya tidak semua "Pribumi" berpihak pada Nica (tentang hal ini bisa dibaca dalam tulisan Siau Giok Tjan, Lima Zaman).

Mengubah

Politik memang bisa mengubah sesuatu yang tak mungkin menjadi mungkin. Di mana pun, baik minoritas etnik, agama maupun kebudayaan selalu menjadi "tumbal" kekuasaan. Tionghoa adalah bagian dari "minoritas" itu, yang dalam perjalanan sejarah sejak kolonial selalu bernasib sial. Padahal, sejarah Nusantara tidak bisa dilepaskan dengan sejarah Tionghoa. Sebab bangsa ini sudah menunjukkan eksistensinya sejak ratusan tahun silam, dan fakta integrasi Nusantara-Tionghoa berlangsung sejak klasik.

Fakta historis ini misalnya ditunjukkan dengan apa yang disebut Shino Javanese Muslim Cultures yang membentang dari Banten, Cirebon sampai Surabaya. Begitupun ketika berbagai bangsa di kawasan ini menyatakan "ikrar" untuk melebur menjadi satu negara "Indonesia", beberapa tokoh Tionghoa juga terlibat di dalamnya.

Dalam konteks inilah maka sebutan "pri" dan "non-pri" tidak relevan. Sebab semua etnis bisa dikatakan "non-pri" dalam pengertian sebagai "orang asing" yang menempati kawasan baru bernama "Indonesia".

Karena itu, ke depan, siapa pun yang berkuasa di negeri ini pasca-Pemilu 2004, Bangsa Tionghoa harus ditempatkan sebagai bagian integral dari Bangsa Indonesia. Mereka harus diposisikan sebagai "in group", sebagai "pribumi", sebagai "umat" yang mendapatkan penghargaan kemanusiaan yang sama sebagaimana etnis lain. Dan, bukannya sebagai "out group", sebagai "non-pri" (sebuah istilah "menyesatkan") yang dipandang sebelah mata dan dikucilkan dari arena kontestasi politik.(18s)

-Sumanto Al Qurtuby penulis buku Arus Cina-Islam-Jawa (2003) dan Direktur Eksekutif The Institute of Cross Religion & Humanity

Gus Dur Raih Tiga Penghargaan Internasional

JAKARTA - Mantan Presiden RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mendapat tiga penghargaan internasional dari tiga lembaga berbeda. Penghargaan tersebut akan diterima langsung Gus Dur di tiga kota berbeda di Amerika.

Penghargaan pertama didapat dari Simon Wiethemthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan HAM. Yayasan yang berkantor di New York ini menilai, Gus Dur merupakan salah satu tokoh yang peduli terhadap persoalan HAM. Mereka melihat kegigihan Gus Dur dalam memperjuangkan pluralisme dan multikulturalisme di tanah air.

Yayasan tersebut telah memberikan piagam penghargaan kepada 12 aktivis dan enam orang di antaranya kemudian menerima nobel perdamaian.

Penghargaan kedua didapat dari Mebal Valor yang berkantor di Los Angeles. Penghargaan ini diberikan karena Gus Dur dinilai punya keberanian membela kaum minoritas. Salah satunya, membela umat Konghucu di Indonesia dalam memperoleh hak-haknya yang sempat terpasung selama era orde baru.

Penghargaan ketiga didapat dari Temple University. Nama Gus Dur diabadikan sebagai nama kelompok studi Abdurrahman Wahid Chair of Islamic Study.

Selain menerima penghargaan, Gus Dur juga dijadwalkan bertemu sejumlah senator AS, staf Gedung Putih dan sejumlah LSM.
Ketua Umum Dewan Syuro DPP PKB ini juga akan mengadakan pertemuan dengan tokoh Islam setempat Irshad Manji. Manji adalah seorang warga muslim AS yang berasal dari Uganda yang sangat berpengaruh dalam hubungan antar agama.

Kunjungan Gus Dur ke Amerika akan didampingi istrinya Sinta Nuriah dan putrinya Yenny Wahid. Keberangkatan mereka, dilepas oleh petinggi PKB di antaranya, Ketua Umum Ali Masykur Musa, Ketua FKB DPR Effendy Choirie, Ketua Umum DKN Garda Bangsa Camelia Puji Astuti, Anggota FKB Abdullah Azwar Anas, Ali Mubarok, Chairus Saleh dan Lalu Misbach. Pelepasan sekaligus tasyakuran dilakukan di Hotel Sheraton kawasan Banda Soekarno Hatta. (Ahmad Baidowi/Sindo/pie)

GATARA, Sebuah Jawaban.

Gus Dur memang seorang tokoh yang sosoknya paling banyak menciptakan kontraversi, baik melalui ucapan maupun tindakannya. Salah satunya, ketika beliau membuat ormas baru, GATARA. Mengagetkan memang ketika tanggal 4 Desember lalu Gus Dur mendeklarasikan GATARA (Gerakan Kebangkitan Rakyat) sebagai wadah baru bagi pendukung-pendukung setia nya. Hal ini memang diluar dugaan baik bagi masyarakat umum maupun warga PKB pro Gus Dur sendiri. Jelas, bukan Gus Dur namanya apabila tidak bisa menimbulkan aneka opini di tengah-tengah masyarakat.

"Membangkitkan semangat!" kata pendukung setia Gus Dur yang bahagia karena dibuatkan tempat yang lebih nyaman untuk menyalurkan aspirasi.

"Hanya lelucon!" Kata orang-orang yang "membuang" Gus Dur dari PKB.

Pendapat masing-masing orang itu sah-sah saja, positif ataupun negatif, itu tergantung dari objektifitas masing-masing individu. Gus Dur sendiri jauh dari kata sosok yang sempurna. Namun, gerakan Gus Dur kali ini berhasil menarik perhatian publik dan menuai komentar dari sahabat maupun lawan politiknya. Termasuk oramg-orang yang berada dibelakang Muhaimin Iskandar-Lukman Edy yang menyingkirkan Gus Dur sebagai ketua umum dewan syuro PKB.

Aneh memang, dengan yakinnya mereka bertindak seakan-akan mampu membawa PKB tanpa Gus Dur, sekarang malah seperti kebakaran jenggot dengan memberikan komentar-komentar sinis di media. Padahal, Gus Dur baru mendirikan ormas saja, bukan partai tandingan. Tapi, yah, kalau orang yang berbohong, bahkan kepada dirinya sendiri, wajar saja kalau reaksi spontan yang tidak simpatik justru keluar. Perasaan takut dan khawatirpun menyerang.

Gus Dur sendiri dalam sambutannya mengatakan kalau GATARA merupaka jawaban. Selama ini beliau selalu memikirkan kemana harus dibawa orang-orang yang masih setia kepadanya, termasuk DPW dan DPC yang dibekukan dan di singkirkan secara brutal oleh Imin Cs. Tindakan Gus Dur menunjukan sikap ksatria-nya sebagai seorang pemimpin yang bertanggung jawab pada orang-orang yang dipimpinnya. Kini mereka bersemangat lagi, bisa berjuang lagi untuk membela yang benar tanpa perlu menjual diri pada para penghianat partai.

Gus Dur menyatakan bahwa GATARA adalah wadah untuk menegakkan hukum dan demokrasi, agar dapat berjalan dengan nilai kejujuran, keterbukaan dan demokratis. Hal inilah yang selama ini di teriakkan oleh para pengikut Gus Dur. Dengan hadirnya GATARA kini mereka dapat kembali ke "rumah" mereka sendiri.

Kehadiran sahabat-sahabat Gus Dur pada saat deklarasi, menambah energi keceriaan di wajah Gus Dur. Akbar Tanjung memberikan komentar kalau Gus Dur justru merupakan jawaban ketika terjadi kebuntuan, Sutiyoso yang menyatakan kekagumannya pada Gus Dur yang selalu konsisten menyebarkan pluralisme, Mochtar Pakpahan dan Rizal Ramli yang menunjukkan keheranannya pada situasi terakhir di PKB dimana Gus Dur "diusir" dari rumahnya sendiri.

Sekarang, gema GATARA mulai terasa gaung-nya. Bahkan hanya selang 2 hari GATARA di deklarasikan di Wahid Institute di Jakarta, beberapa kota dan kabupaten di Jawa Timur sudah mempersiapkan kehadiran GATARA di daerah mereka. Sungguh, ketulusan pengikut Gus Dur benar-benar mengharukan, tanpa mengharapkan balasan, mereka bahu membahu mendirikan GATARA.

Jangan samakan GATARA dengan PKB saat ini. GATARA merupakan tempat yang di isi oleh orang-orang yang ber-prinsip, dan merupakan perhentian bagi gerbong PKB yang enggan bergabung dengan PKB tanpa Gus Dur. Walaupun ormas, namun GATARA sudah menjadi lirikan Capres yang akan bertarung nanti.

Ya, saat ini PKB hanyalah partai yang membawa nama-nama orang yang baru saja mengaku sebagai "warga PKB" untuk ikut dalam pemilu. Namun, warga PKB sejati, yang berbasis NU telah berpaling ke GATARA. Karena mereka tau, siapa yang benar dan siapa yang salah. Mereka melihat bahwa PKB saat ini, sudah diluar garis gaya hidup Nadhiyin, yang hormat kepada kyai dan santun. Bukan orang-orang yang selalu mencemooh, berkata kasar, dan arogan (hal ini tentu tidak berlaku bagi lukman edy yang memang bukan orang NU).

Maju terus Gus Dur, teruslah berjuang dan menciptakan generasi demokrat yang jujur dan berani di negeri ini. Hidup Gus Dur! Hidup GATARA!

Konsistensi, sulitkah?

Masih dalam suasana peluncuran GATARA oleh KH. Abdurahman Wahid, kali ini saya ingin berbagi tentang konsistensi. Walaupun sederhana, tetapi merupakan salah satu faktor penentu dalam melihat kualitas seseorang. Terutama di dalam dunia politik. Dunia yang penuh dengan beraneka dinamika yang berlandaskan kepentingan. Mungkinkah kita bisa bersikap konsisten di dunia politik? apalagi bagi politisi muda, yang selalu beranggapan bahwa selalu ada waktu untuk memperbaiki kesalahan sehingga dengan mudahnya menjual idealisme, hanya untuk kesenangan sesaat.

Saya semula merasa muak membaca komentar anggota DPR-RI dari fraksi PKB, Marwan Ja'far pada inilah.com. Marwan yang pada saat itu segera memberi komentarnya hanya selang beberapa jam GATARA di dirikan.

"Ini kan lucu, mengaku sebagai tokoh demokrasi, tiba-tiba menyerukan golput. Tiba-tiba dia bikin Getara. Nah ini kan lucu," kata Ketua DPP PKB Marwan Ja'far kepada INILAH.COM, Jakarta, Rabu (3/12).

Mengapa saya muak? yah, kalau Marwan mentertawakan, biasa saja. Apalah arti seorang Marwan, jauh lebih baik apabila dia mentertawakan dirinya sendiri. Tetapi komentarnya terlihat terlalu cepat dan tanpa pertimbangan sebelumnya. Tidak ada yang lucu akan keputusan Gus Dur untuk mendirikan GATARA dan tidak ada hubungannya dengan Golput. Justru GATARA merupakan wujud demokrasi sejati karena merupakan wadah yang menerima aspirasi dari seluruh lapisan masyarakat. Sekalipun masyarakat tesebut adalah masyarakat yang kecewa dengan pemerintahnya sendiri.

Tetapi kemudian, saya sendiri yang tertawa geli membaca komentar Hanif Dhakiri, wasekjen yang dulu dipecat Gus Dur, dan sekarang masuk kembali melalui pintu Muhaimin.

"Berdirinya Gatara merupakan suatu hal yang positif. Itu bagian dari partisipasi politik warga negara dalam demokrasi. Dengan senang hati PKB menyambut. Positif saja, itu bisa dijadikan partner kita," kata Wakil Sekjen PKB Hanif Dakhiri kepada INILAH.COM di Jakarta, Kamis (4/12).

Luar biasa bukan? Bagaimana mungkin GATARA yang semula menjadi bahan tertawaan PKB Imin, sekarang malah dijadikan partner? Apa tidak salah? Alangkah naifnya.

Tetapi inconsistency seperti ini, bukan pertama kalinya dilakukan oleh PKB semejak Gus Dur diasingkan dari partainya sendiri oleh Imin-Lukman Cs. Tanpa malu mereka bisa memutar balikkan fakta. Berpura-pura setuju dengan keputusan MA, tetapi pada prakteknya, mereka mengembalikan semuanya ke muktamar "abal-abal" yang mereka lakukan di Ancol. Tanpa malu mereka meng-klaim bahwa ketua umum dewan syuro PKB adalah KH. Azis Mansyur (disatu sisi, saya merasa kashian dg KH. Azis Mansyur ini). Namun, sikap "lain siang, lain pula malam" tidak hanya sebatas itu.

Seakan ingin menang di segala arah, Imin Cs tidak hanya memanipulasi posisi Gus Dur di dewan Syuro PKB, kini mereka seperti tidak rela kalau Gus Dur bersikap yang tidak memihak maupun memberikan keuntungan bagi mereka. Dengan cepat, kini kampanye PKB Imin kembali menyuarkan bahwa "Gus Dur adalah bagian dari PKB" dan spanduk dengan foto Gus Dur, kembali beredar dimana-mana. Bahkan, menuliskan deklarasi PKB di Ciganjur.

Sudahlah, apabila dibahas satu persatu jelas tidak ada sudahnya. Seperti saya katakan tadi, KONSISTENSI lah yang ingin saya katakan di sini. Sebagai pemuda, jelas saja bila saya merasa heran melihat terjadinya inconsistency yang menurut saya tidak ada alasan untuk itu. Sebagai orang muda, mengapa harus bersikap seperti seorang pengecut? Mengapa ragu akan keputusan yang kita pilih sendiri? ...

Jangan sekali-kali merasa puas karena berhasil mentertawakan orang lain, lalu berharap orang lain akan menerima dengan terbuka ketika diminta menjadi bagian dari kita. Serta jangan sekali-kali merendahkan, menyakiti dan menghina orang lain, karena pada akhirnya, orang itu tidak mungkin dipisahkan dari ladang hidup kita sendiri.

Memahami Seorang Gus Dur


PENDAHULUAN

SELALU MENARIK untuk mengikuti “polah tingkah” seorang Gus Dur. Sosok kyai yang bernama asli KH. Abdurrahman Wahid ini selalu terkenal dengan komentar-komentar yang kadang berada “di luar jalur status kekyaiannya”. Berbagai pro dan kontra kerap mewarnai pemikiran-pemikiran muskil bin nyleneh yang ia lontarkan. Dampaknya luar biasa. Ada yang setuju, ada yang menghina, menganggapnya gila, bahkan ada yang sudah menganggapnya murtad. Yang lebih lucu, ada pula yang menganggapnya seorang wali “berdarah biru”, seorang habib ––turunan Rasulullah Saw–– terutama oleh pendukung yang pro terhadapnya. Dalam wilayah ormas islam –-khususnya NU—ia dianggap sebagai sosok kyai yang disegani. Dalam kancah politik, ia menjalankan strategi zigzag sehingga sulit ditebak oleh lawan-lawannya. Kadang pikirannya sama dengan orang kebanyakan, namun disaat lain, ia seperti menentang habis-habisan orang yang dulu sepaham dengannya.

Kata orang, Gus Dur terlalu maju untuk pemikiran orang-orang di Indonesia. Lalu bagaimana memahami seorang Gus Dur? Apakah ia memang bukan seorang manusia biasa seperti yang disangka selama ini? Apakah ia memang seorang kyai yang tidak lagi menjalankan tradisi kekyaiannya – bahkan menembus wilayah pesantren itu sendiri? Tulisan ini akan mengupas tentang jalan pikiran seorang Gus Dur yang kadang tidak bisa dimengerti –-bahkan oleh pendukungnya sendiri.

SEKELUMIT TENTANG GUS DUR

Tidak banyak tahu, kalau nama kecil Gus Dur adalah Abdurrahman Addakhil ( Addakhil = sang penakluk). Karena nama itu telah dilebur menjadi Abdurrahman Wahid karena menisbatkan pada nama ayahnya Wahid Hasyim –-anak KH. Hasyim Asy’ari, pendiri ormas islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama. Namun nama itu juga kalah populer. Orang kebanyakan akan memanggilanya Gus Dur sebagai panggilan penghormatan pada seorang anak kyai (Gus = Abang atau Mas).

Sewaktu masih sangat muda, Gus Dur adalah pribadi yang normal, seperti anak-anak kebanyakan. Yang membedakan hanyalah hobinya yang luar biasa gila untuk membaca. Dan ketika wawasan dan pengalamannya bertambah, ia berevolusi menjelma sebagai sosok yang “abnormal”, nyleneh sampai ada yang menganggapnya gila. Dan bagi saya, Gus Dur itu kompleks. Se-kompleks kultur masyarakat, bukan saja di Indonesia tetapi di dunia. Ini bisa dimaklumi, karena terkait erat dengan masa lalu yang dialami Gus Dur sendiri. Ia hidup dalam kultur masyarakat yang benar-benar kompleks.

Selain pernah tinggal di lingkungan pesantren, Gus Dur juga pernah tinggal di lingkungan yang dihuni oleh para birokrat –-karena ayahnya seorang Menteri Agama pertama dalam era kepemimpinan Soekarno. Ia pernah menetap di Mesir, Irak, Belanda, Kanada selain di Indonesia sendiri. Walaupun lahir dari kalangan Nadlatul Ulama, sewaktu remaja ia pernah hengkang dari pesantren –-karena tidak suka dengan aturan pesantren yang ketat— kemudian memilih kost di rumah salah seorang pengurus Muhammadiyah.

Lebih lanjut, Gus Dur yang waktu itu masih remaja –didorong oleh gurunya untuk menguasai Bahasa Inggris– dalam waktu satu sampai dua tahun Gus Dur sanggup menghabiskan beberapa buku dalam bahasa Inggris. Di antara buku-buku yang pernah dibacanya adalah karya Ernest Hemingway, John Steinbach, dan William Faulkner. Di samping itu, ia juga membaca sampai tuntas beberapa karya Johan Huizinga, Andre Malraux, Ortega Y. Gasset, dan beberapa karya penulis Rusia, seperti: Pushkin, Tolstoy, Dostoevsky dan Mikhail Sholokov. Gus Dur juga melahap habis beberapa karya Wiill Durant yang berjudul ‘The Story of Civilazation’. Selain belajar dengan membaca buku-buku berbahasa Inggris, untuk meningkatan kemampuan bahasa Ingrisnya sekaligus untuk menggali informasi, Gus Dur aktif mendengarkan siaran lewat radio Voice of America dan BBC London. Ketika mengetahui bahwa Gus Dur pandai dalam bahasa Inggis, seorang guru nya di sekolah menengah yang juga anggota Partai Komunis memberi buku karya Lenin ‘What is To Be Done’ . Pada saat yang sama, anak yang memasuki masuki masa remaja ini telah mengenal Das Kapital-nya Karl Marx, filsafat Plato,Thales, dan sebagainya. Dari penjelasan diatas, terllihat betapa luasnya kekayaan intelektual seorang Gusdur.

Di samping membaca, tokoh satu ini senang pula bermain bola, catur dan musik. Dengan demikian, tidak heran jika Gus Dur pernah diminta untuk menjadi komentator sepak bola di televisi. Kegemaran lainnya, yang ikut juga melengkapi hobinya adalah menonton bioskop. Kegemaran ”ganjil” di kalangan pesantren ini menimbulkan apresiasi yang mendalam dalam dunia film. Inilah sebabnya mengapa Gu Dur pada tahun 1986-1987 diangkat sebagai Juri Festival Film Indonesia. Tentu saja ini mengundang kecaman terutama dari kalangan pesantren dan pernah menjulukinya Kyai Ketoprak.

Dari berbagai biografi tentang Gus Dur, terlihat betapa kompleks dan rumitnya perjalanan Gus Dur dalam meniti kehidupannya. Ia bertemu dengan berbagai macam orang yang hidup dengan latar belakang ideologi, budaya, kepentingan, strata sosial dan pemikiran yang berbeda. Dari segi pemahaman keagamaan dan ideologi, Gus Dur melintasi jalan hidup yang lebih kompleks, mulai dari yang tradisional, ideologis, fundamentalis, sampai moderrnis dan sekuler. Dari segi kultural, Gus Dur mengalami hidup di tengah budaya Timur yang santun, tertutup, penuh basa-basi, sampai denga budaya Barat yang terbuka, modern dan liberal. Demikian juga persentuhannya dengan para pemikir, mulai dari yang konservatif, ortodoks sampai yang liberal dan radikal semua pernah ia alami.


Pemikiran Gus Dur mengenai agama diperoleh dari dunia pesantren. Lembaga inilah yang membentuk karakter keagamaan yang penuh etik, formal, dan struktural. Sementara pengembaraannya ke Timur Tengah telah mempertemukan Gus Dur dengan berbagai corak pemikirann agama, dari yang konservatif, simbolik-fundamentalis sampai yang liberal-radikal. Dalam bidang kemanusiaan, pikiran-pikiran Gus Dur banyak dipengaruhi oleh para pemikir Barat dengan filsafat humanismenya. Secara rasa maupun praktek prilaku yang humanis, pengaruh para kyai yang mendidik dan membimbingnya mempunyai andil besar dalam membentuk pemikiran Gusdur sendiri.

Dari segi kultural, Gus Dur melintasi tiga model lapisan budaya. Pertama, Gus Dur bersentuhan dengan kultur dunia pesantren yang sangat hierarkis, tertutup, dan penuh dengan etika yang serba formal; kedua, dunia Timur yang terbuka dan keras; dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasioal dan sekuler. Kesemuanya tampak masuk dalam pribadi dan membetuk sinergi. Hampir tidak ada yang secara dominan berpengaruh membentuk pribadi Gus Dur. Sampai sekarang masing-masing melakukan dialog dalam diri Gus Dur. Inilah sebabnya mengapa Gus Dur selalu kelihatan dinamis dan suliit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas tradisionalisme yang dipegangi komunitasnya sendiri.

PEMIKIRAN-PEMIKIRAN GUS DUR

Sebenarnya, jika kita jeli, pemikiran-pemikiran gusdur itu “biasa-biasa” saja. Ia memperlakukan manusia –dan segala kerumitan didalamnya– dalam kacamata filsafat manusia. Bukankah ini adalah hal wajar, sebagaimana Al Ghazali, Ibnu Sina, Plato, Aristotle, Ibnu Rusyd pun mempelajarinya. Pemikiran-pemikirannya sebenarnya merupakan sebuah pencernaan yang panjang sebagai hasil dari hobinya yang bisa dikatakan gila baca. Buku apa saja hampir dia baca, tak peduli pemikiran-pemikiran liar macam Das Kapital-nya Karl Max, yang mungkin bagi sebagian orang, buku tersebut sangat berbahaya dan haram dibaca umat Islam karena lahir dari seorang tokoh komunis cenderung atheis.

Ia memang terlihat seperti diktator, namun sebenarnya ia tengah “membebaskan” dirinya dan orang lain, terserah apa kata mereka. Ia seolah “tidak bisa dkritik” terutama oleh “rakyat-nya” sendiri, padahal sebenarnya ia telah berhasil menciptakan kritik yang ditujukan pada dirinya, terutama oleh orang-orang yang tidak begitu mengenalnya. Sampai disini ia telah berhasil “memancing” orang untuk bebas berpendapat dan berfikir.

Gus Dur tidak menginginkan orang harus memahami apa yang ia lakukan. Ia seperti seorang guru yang membebaskan muridnya untuk berpendapat sesuai dengan kemampuan dan pengetahuan yang dimilikinya. Yang diberikan Gus Dur sebenarnya adalah sebuah rangsangan, agar kita berfikir lebih kritis dalam menyikapi sesuatu, walaupun kebanyakan pengikutnya begitu patuh kepadanya, sesuai tradisi pesantren terutama dikalangan NU sendiri yang menganggap bahwa kyai adalah “segalanya”.

Untuk memahami Gusdur, setidaknya ada salah satu hal yang bisa menjelaskan semuanya. Yeni Wahid –anak Gus Dur– pernah mengatakan bahwa dasar pemikiran Gus Dur adalah kemanusiaan. Itu saja, tidak lebih dan tidak kurang. Ini yang kita sebut sebagai faham humanisme. Jika hal ini kita pahami, niscaya kita bisa mengetahui esensi dari pernyataan-pernyataan kontroversialnya selama ini. Hal ini diperkuat oleh pernyataan-pernyataan Gus Dur dalam berbagai pidatonya. Gus Dur sering mengungkapkan tiga macam ukhuwah penting yang harus dimiliki oleh muslim, yaitu ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah basyariyah/insaniyah.

Ukhuwah islamiyah, artinya persaudaraan sesama islam. Kita merasa disatukan dengan orang karena agama kita sama. Mungkin sebagia besar dari kita telah banyak menyuarakan hal ini. Namun berapa banyak dari kita yang benar-benar care dengan sesama muslim. Kita merasa, islam kita paling bener. Akibatnya menuding orang lain gak bener. Saling tuding menuding pun terus berlanjut. Tidak sampai disitu, jika perlu adu jotos demi menyuarakan “kebenaran” nekat dilakukan.

Ukhuwah wathoniyah, artinya merasa saudara sebangsa setanah air –sebuah slogan yang kerapkali didengungkan, bukan?. Namun kenyataannya, faham primordialisme masih mengakar kuat. Masih banyak yang lebih mengutamakan golongan sendiri-sendiri. Membela “mati-matian” partainya, sukunya, ormasnya, daerahnya dll dengan mengabaikan keutuhan bangsa dan negara. Ketika ada yang menyuarakan nasionalisme, dianggap tidak islami. Persoalan nasionalisme hanya berkutat pada masalah pesta 17 Agustusan, menyanyikan lagu wajib dll. Padahal, Rasulullah sendiri bersabda; cinta tanah air adalah sebagian dari iman, iya toh ? Mengapa mesti dipisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara?

Dan yang terakhir, kita menganggap saudara kepada orang lain karena dia masih manusia seperti kita. Ini yang disebut ukhuwah basyariyah/insaniyah. Lalu jika dia hewan atau tumbuhan lantas tidak dicintai? Wuah, ini juga ndak bener. Nanti, lebih luas ke arah itu. Ukhuwah sesama makhluk hidup. Namun konsep ini terlalu luas karena tidak menyangkut hubungan antara manusia dg manusia. Nah, memanusiakan manusia. Itulah yang dilakukan Gus Dur. Kecil besar, kuat lemah, tinggi pendek, beragam warna kulit, sikap hidupnya dll adalah manusia juga yang harus dihargai hak-haknya dan kewajibannya.

Sebagian dari kita mungkin memiliki ukhuwah islamiyah yang kuat. Namun kadang terlalu kuat, hanya bertahan di level itu. Malah ada yang tidak punya sama sekali. Mungkin ada juga sampai ke tingkat ukhuwah wathoniyah. Namun itu belum cukup jika tidak di”sempurnakan” dengan ukhuwah insaniyah/basyariyah. Inilah maksud faham humanisme/ kemanusiaan yang sering dijadikan salah satu kerangka berfikir seorang Gus Dur. Makanya, sepintas pemikiran-pemikiran Gusdur terlihat bertentangan dengan Islam. Namun sebenarnya semuanya saling bersinergi satu dengan yang lainnya. Mencintai Islam berarti cinta tanah air dan bangsa. Mencintai Islam berarti mencintai sesama manusia. Bukankah ini adalah pelajaran paling dasar dalam ilmu agama –khususnya islam– bukan?

Selain faham humanisme yang telah dikemukakan diatas, saya juga ingin menambahkan satu hal, bahwa Gus Dur pun kadang-kadang –-tidak selalu– menganut faham “kebalikan”. Maksudnya, ia ingin menentang arus dengan pendapat umum mayoritas orang-orang. Tentu saja faham ini pun punya maksud tersendiri yang mungkin hanya Gusdur sendiri bisa menjelaskannya. Ia seolah membiarkan dirinya dicaci maki, dihina dll hanya demi tercapainya sebuah tujuan. Ia kadang bersifat seperti lilin, yang rela membiarkan dirinya terbakar habis hanya untuk memberikan cahaya dalam gelap. Namun faham kebalikan yang ia lancarkan berhasil menarik perhatian orang banyak. Dalam ilmu komunikasi, Gus Dur berhasil memancing perhatian orang untuk mendengarkan apa yang ia bicarakan. Ia berhasil membuat orang menjadi “heboh” membicarakan suatu topik masalah, untuk kemudian diangkat ke permukaan.

Sebagai contoh, pendapatnya tentang “Assalamu’alaikum” lebih baik diganti saja dengan “Selamat pagi” atau “Apa kabar”. Alasannya, hal itu terlihat lebih Indonesia. Tentu saja hal ini membuat marah umat Islam kebanyakan. Lah kok bisa, seorang kyai bisa berkata seperti itu? Jika kita tilik secara rasional, pendapat Gusdur ini benar-benar “manusiawi”. Indonesia begitu kompleks, tidak hanya terdiri dari satu golongan saja tetapi banyak. Dari segi agama, ada islam, kristen, katolik, budha, hindu. Dari segi etnis, ada jawa, sunda, china dll. Gus Dur berusaha merangkul semuanya. Bukan sekedar membela mayoritas, tetapi minoritas pun tetap dia anggap bagian dari masyarakat juga. Inilah maksud dari faham humanisme/kemanusiaannya Gus Dur. Mengenai sikap umat Islam yang “marah” dengan pendapatnya ini, sebenarnya Gus Dur sengaja “membakar emosi” mereka agar ghirah umat islam bangkit. Berapa banyak umat islam yang akhirnya getol mengumandangkan salam, sebagai bentuk protesnya menentang Gus Dur. Banyak umat Islam berkomentar –bahkan dikampanyekan melaui tabligh– yang isinya mengupas tuntas pentingnya masalah salam, terutama bagi umat islam sendiri. Inilah maksud faham kebalikan Gus Dur. Sampai disini Gus Dur telah berhasil menjalankan misinya. Ia seolah ingin membudayakan salam dengan pendekatan yang berbeda. Disisi lain, masyarakat non-muslim pun merasa diakui keberadaannya. Inilah maksud dari ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathoniyah dan ukhuwah basyariyah/insaniyah yang telah dikemukakan diatas.

Contoh lain, saat mendirikan partai –-walaupun sebenarnya saya pun tidak terlalu suka dengan partai karena kebanyakan punya kepentingan masing-masing dan melupakan kepentingan bersama– ia emoh menggunakan asas Islam, yang sekarang ini diperbolehkan menyusul dicabutnya Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam berorganisasi melalui sebuah ketetepan MPR. Gus Dur lebih memilih asas Pancasila. Dampaknya sungguh luar biasa, mulai dari cibiran, cacian dll walapun ada juga yang memujinya. Rupanya Gus Dur telah siap dengan semua itu. Dalam kasus ini, kembali prinsip kemanusiaan ia utamakan. Terlepas dari kebijakan apakah tujuannya menggunakan asas Pancasila agar memperoleh suara banyak dalam pemilu –karena pemilihnya bukan hanya dari Islam– namun ia berusaha mengutamakan kepentingan orang banyak melalui Pancasila. Kita tahu, unsur ketuhanan yang maha esa pun diakui dalam dasar negara kita itu. Ini pun berarti pancasila pun mengakui keberadaan islam –dan lainnya– dalam kehidupan kompleks berbangsa dan bernegara. Ia bukannya emoh dengan hukum islam, tetapi lebih tidak ingin islam hanya sekedar simbolis belaka atau hukum islam tidak dijalankan secara kaffah (menyeluruh). Ia juga tidak ingin memecah-mecah suara islam dalam kotak yang berbeda-beda. Kalo asasnya kebangsaan, sudah wajarlah Islam memang harus ada di mana-mana. Tapi kalau banyak partai berasas islam, tentu saja suara islam seakan-akan terlihat pecah, dianggap tidak solid dimata agama lain. Yang lebih parah, jika ada anggota partai islam itu yang tidak bersikap sesuai syariat islam, misalnya melakukan korupsi, kolusi dll. Wuah, ini jelas-jelas akan menjadi preseden buruk bagi nama islam sendiri toh?

Mungkin setidaknya dua hal ini -–yakni faham humanisme dan faham kebalikan– dari dua contoh diatas yang bisa digunakan untuk menjelaskan pemikiran-pemikiran “menyimpang”nya selama ini. Namun Gus Dur terlalu kompleks. Paparan yang saya jelaskan diatas mungkin saja hanya sebagian kecil dari kekompleks-an seorang Gus Dur yang pernah hidup diberbagai lapisan masyarakat –yang juga kompleks.

Emha Ainun Najib pernah punya pengalaman unik bersama Gusdur yang akhirnya mengantarnya pada pemahaman seorang Gus Dur. Suatu hari Cak Nun –-panggilan akrab Emha Ainun Najib—bertamu kerumah Gus Dur. Ia disambut Gus Dur dengan menawari sebuah minuman. Ketika minuman yang menggugah selera itu telah terhidang di atas meja, Gus Dur mengatakan terlebih dahulu kepada Cak Nun bahwa sebelum minuman itu terhidang, gelasnya telah ia cuci kemudian di-lap dengan menggunakan (maaf) celana dalam miliknya. Kekagetan Cak Nun tidak berhenti sampai disitu ketika Gus Dur pun mengatakan bahwa karena sendoknya tidak ada, maka untuk mengaduk minuman tersebut menggunakan sikat gigi miliknya yang ada di kamar mandi. Tentu saja Cak Nun makin kaget. Keinginannya untuk segera menyeruput minuman “nikmat” itu hilang seketika mendengan pengakuan jujur seorang Gus Dur. Ia ragu untuk meminumnya karena dibayang-bayangi perasaan jijik, mual dan lain sebagainya. Seperti tahu keengganan Cak Nun dengan minuman yang telah terhidang diatas meja tersebut, Gus Dur pun mengatakan, “Sampeyan jangan merasa jijik dengan minuman itu. Tenang saja kok, semuanya masih baru—maksudnya celana dalam dan sikat gigi tersebut”. Akhirnya, Emha Ainun Najib sadar dan merasa paham dengan pemikiran-pemikiran “nyleneh” Gusdur selama ini.

Gus Dur seperti hendak membalik logika berfikir kita. Ia tidak seperti kebanyakan yang hanya bisa setuju dengan pendapat orang tanpa tahu pendapatnya sendiri –-dalam bahasa agama ini yang disebut taqlid buta. Kadang pemikirannya jauh melampaui rakyat yang dipimpinnya sendiri. Ia terlalu visioner. Ibarat sebuah kapal jet ia melaju sangat kencang meninggalkan rakyatnya sendiri yang masih berkendara sepeda. Makanya, kadang jalan pikirannya kurang dimengerti oleh banyak orang karena manuver-manuver berbahaya yang ia lontarkan dalam kehidupan bermasyarakatnya (entah itu politik, sosial, keagamaan, ekonomi dll). Malah ada yang menganggapnya wali segala –serupa dengan Syekh Siti Jenar. ia kadang berfikir diluar kerangka berpikir masyarakat pada umumnya. Jalan pikirannya seolah keluar dari kotak yang telah digariskan –berfikir out of box–. Yang ia ungkapkan dalam pemikirannya adalah esensinya saja. Hal ini tentu saja sangat membingungkan masyarakat yang belum siap untuk maju. Seperti seorang petani ndeso yang dihadiahi sebuah komputer super canggih. Kadang kita terlalu berpikir hitam putih dalam menilai sesuatu. Padahal, kenyataannya dalam hidup bermasyarakat tidak sesederhana itu. Warna masyarakat tidaklah hitam putih, tetapi abu-abu dengan kadar gelap terangnya yang bervariasi. Nah, Gusdur berfikir dalam kerangka wilayah itu.

Ke“nyleneh”an Gus Dur tidak datang begitu saja, tanpa pikir panjang. Tapi hal itu muncul sebagai akibat interaksinya dengan banyak orang dari berbagai latar belakang budaya, status sosial, pemikiran yang berbeda-beda. Ia “meniru” para kyai sepuh yang mungkin lebih nyleneh dari dirinya —hanya saja kenylenehan mereka tidak tampak secara luas di masyarakat umum. Hal ini dkombinasikan dengan pengetahuan yang ia dapatkan dari berbagai macam buku yang ia baca, persentuhannya dengan dunia luar (di Mesir, Irak, Belanda, Kanada dll). Ia menyerap banyak hal dari pengalamannya, kemudian akhirnya menghasilkan pemikiran baru khas Gus Dur. Sungguh, ini bukanlah sebuah perjalanan yang bisa ditempuh dalam waktu singkat. Butuh proses yang sangat panjang, dan proses itu masih berlangsung sampai kini.

Hal ini bisa dipahami. Anaknya sendiri pernah bilang kalau sang bapak sebelum mengemukakan sebuah statement, jauh hari sebelumnya Gus Dur telah memikirkannya matang-matang. Bahkan perubahan itu tampak pada sikap kesehariannya seperti menjadi tampak serius. Ini jauh berbeda dengan anggapan masyarakat umum yang menilai Gus Dur kalo bicara suka ceplas ceplos, seenaknya sendiri seolah nggak dipikir dulu. “Ini sungguh berbahaya!” kata mereka.

Namun sekali lagi, Gus Dur juga seorang manusia, yang bisa saja salah. Seorang wali bahkan nabi pun pernah melakukan kesalahan. Maka tidaklah pantas kita terlalu mengagung-agungkannya, mengkultus individukannya, bersikap ashobiyah–fanatisme berlebihan. Sama tak pantasnya kita mencacinya berlebihan pula, bahkan sampai menganggapnya “gila” bahkan murtad –keluar dari islam. Setidaknya dia hanya seorang anak bangsa –bahkan sekarang malah ada yang sudah menganggapnya sebagai guru bangsa– yang telah menyumbangkan pemikirannya untuk bangsa ini, terlepas dari pemikiran-pemikirannya yang sangat kontroversial itu. Namun justru disetiap kesempatan, orang-orang masih tertarik atas komentar-komentar “ngasal” Gus Dur. Dengan harap-harap cemas, masyarakat tertarik juga untuk sekedar mendengar pendapat Gus Dur –entah itu dari pendukungnya atau lawannya. Akhirnya, saya hanya bisa tersenyum geli ketika Gus Dur siap-siap melancarkan pemikiran nylenehnya ke masyarakat. Entah, lakon kehidupan apalagi yang akan ia perankan.

Semua diperbolehkan untuk berkomentar, entah benar ataupun salah tidak ada ukuran baku yang bisa menilainya. Tergantung dari sudut pandang apa ia menilainya. Seperti halnya pendapat saya dalam tulisan ini, bisa benar atau mungkin bisa saja disalahkan –bahkan oleh Gus Dur sendiri. Lha wong namanya juga pendapat, iya toh?

Massa Gus Dur 'Gedor' Ketua DPRD Jatim

INILAH.COM, Surabaya - Puluhan massa PKB pro Gus Dur mendatangi gedung DPRD Jatim di Jl Indrapura, Surabaya. Mereka mendesak agar ketua DPRD Jatim, Fathorrasjid dan 17 orang lainnya segera mundur dari jabatannya.

Mereka juga akan mengantarkan surat keputusan mendagri tentang pemecatan Fathor kepada wakil ketua DPRD Jatim.

Koordinator aksi, Ahmad Arizal menuntut Fathor Cs segera meninggalkan gedung DPRD Jatim. Sebab, dengan turunnya surat dari Mendagri itu, mereka tidak lagi punya hak menikmati gaji dan fasilitas lainnya.

"Kalau tetap di sini, sama saja mereka memakan uang haram," teriak Ahmad Arizal, di gedung DPRD Jatim, Senin (16/2).

Puluhan massa itu juga membawa spanduk yang menghujat Fathorrasjid. Di antaranya bertuliskan, 'Fathorrasjid tinggalkan gedung DPRD Jatim sekarang juga', 'Fathor bukan ketua DPRD Jatim', dan lainnya.

Mereka juga mendesak kepada guebrnur dan wakil gubernur untuk segera mungkin memproses poemecetan Fathor cs.

Aksi ini tidak terlalu mengganggu anggota dewan yang sedang bekerja. Puluhan personil dari Polres Surabaya Utara disiagakan untuk mengamankan aksi ini. Satu unit PMK juga disiagakan. [beritajatim.com/ana]

PKB Pro Gus Dur Minta Gubernur Jatim Proses PAW Anggotanya

Surabaya (ANTARA News) - DPW PKB Jatim pro Gus Dur meminta kepada Gubernur Jatim dan pimpinan DPRD Jatim untuk memroses pemberhentian 18 anggota FKB DPRD Provinsi Jatim.

Pernyataan tertulis pimpinan PKB Jatim tersebut disampaikan oleh Ketua Garda Bangsa Jatim, Arizal ketika memimpin unjuk rasa di DPRD Provinsi Jatim, Senin.

Permintaan tersebut ditandatangani Ketua Dewan Syuro PKB Jatim, Fuad Amin Imron, Sekretaris, Misbahul Munir, Ketua Dewan Tanfidz, Hasan Aminuddin dan Sekretaris, Choirul Sholeh Rasyid.

Mereka menyatakan 18 anggota FKB tersebut telah pindah ke PKNU, diberhentikan oleh PKB dan keberadaannya sudah diatur dengan UU Susduk MPR, DPR dan DPRD, UU Pemilu dan UU Parpol.

"Keberadaan mereka secara hukum di FKB DPRD Jatim akan berimplikasi secara hukum terhadap keabsahan keputusan dalam bentuk apapun yang dikeluarkan DPRD Jatim," kata pimpinan PKB.

Mendagri telah memberhentikan 18 anggota FKBB DPRDB Provinsi Jatim dengan surat Nomor : 161.35/134/2009 tertanggal 13 Pebruari 2009.

Usai melakukan unjuk rasa, Arizal kemudian menyerahkan nama-nama pengganti anggota FKB yang diberhentikan ke Pemprov Jatim dan diterima Kepala Bakesbang Jatim, Edi Purwinanto.

Dikonfirmasi usai pertemuan Edi mengatakan PKB Gus Dur juga menyadari kalau PKB memiliki dua kepengurusan sehingga kalau PKBB Imam Nahrawi juga menyerahkan nama merupakan haknya.

"Surat mereka kami terima tetapi berdasarkan Permen 53 Tahun 2005 prosedurnya partai mengusulkan ke dewan, kemudian dewan klarifikasi ke KPU apakah nama-nama yang diusulkan tercatat dalam DCT Pemilu 2004 atau tidak," katanya.

Kemudian, lanjut Edi, KPU menyerahkan hasilnya ke dewan, setelah itu dewan meneruskan ke Mendagri melalui gubernur.

"Pak gubernur hingga saat ini belum memegang SK pemberhentian dari Mendagri dan belum merapatkannya. Saya sendiri juga belum pegang SK," katanya. (*)

Kaos Tim Futsal Gatara Sawunggaling



Tim Futsal Gatara Sawunggaling bersama Caleg PDIP & Pemain Persebaya


Tim Futsal Gatara Sawunggaling berfoto bersama Caleg PDIP & Pemain Persebaya. Tampak dalam foto Bpk. Armuji (Caleg PDIP untuk DPRD Tk.II Kota Surabaya Dapil-IV), Bpk. H. Farid Nasrudin (Ketua Tanfidz DPAC PKB Pro Gus Dur Kec.Wonokromo), Bpk. Imam Agus Salim (Pembina Tim Futsal Gatara Sawunggaling sekaligus Ketua Tanfidz DPRt PKB Pro Gus Dur Kel.Sawunggaling), Ibu Indah Kurnia (Caleg PDIP untuk DPR-RI Dapil Jatim-1 Surabaya-Sidoarjo).Tampak pula Pemain Persebaya Andik & Taufiq berpose bersama Tim Futsal Gatara Sawunggaling.

Minggu, 22 Februari 2009

Tim Futsal Gatara Sawunggaling


Tim Futsal ini terdiri dari kader-kader PKB Pro Gus Dur diwilayah Kelurahan Sawunggaling. Tim Futsal ini siap melakukan pertandingan persahabatan bila diundang oleh Tim Futsal Kader PKB Pro Gus Dur dari wilayah lain.Dan tidak menutup kemungkinan bersedia bila diundang Tanding Persahabatan dengan Tim dari manapun. Dengan seorang pembina yaitu Bpk. Imam Agus Salim (biasa dipanggil Bpk.Arief)diharapkan Tim Futsal ini dapat dijadikan media penyaluran hobby olah raga sepak bola futsal sekaligus media komunikasi dan perjuangan kader-kader PKB Pro Gus Dur dalam mewujudkan cita-cita "Gerakan Kebangkitan Rakyat" (GATARA).

Koalisi PDIP-PKB Pro Gus Dur di Tingkat Ranting





Wujud Koalisi Perjuangan Bangsa sudah pada tataran ranting. Hal ini telah dilakukan oleh kader-kader PKB Pro Gus Dur dari Ranting Sawunggaling (GATARA SAWUNGGALING)Kecamatan Wonokromo dengan kader-kader PDIP yang terjalin dengan melakukan Pertandingan Futsal Persahabatan. Pertandingan Futsal Persahabatn ini dilakukan dengan mengusung Caleg dari PDIP untuk DPRD TK-II Kota Surabaya yaitu Bpk. ARMUJI
Pertandingan futsal persahabatan PDIP dengan PKB Pro Gus Dur ini diadakan di Lapangan Futsal Ole-ole dengan hasil pertandingan 4-2 untuk kemenangan Tim Futsal PKB Pro Gus Dur dari Ranting Sawunggaling (GATARA SAWUNGGALING)
Kegiatan ini berlangsung cukup meriah penuh keakraban dan semakin bertambah menggembirakan dengan hadirnya Ibu INDAH KURNIA (Caleg PDIP untuk DPR-RI) yang didampingi oleh dua orang pemain persebaya Andik & Taufiq.
Dukungan Kader PKB Pro Gus Dur terhadap Caleg PDIP ditambah sikap "welcome"nya Caleg & Kader PDIP dengan koalisi Perjuangan Bangsa ini diharapkan mempererat hubungan silaturrahim sekaligus upaya pemenangan Caleg PDIP pada Pemilu Legislatif 2009. Sehingga kedepannya dapat terjalin suatu kerjasama positif PDIP dengan PKB Pro Gus Dur.

Gembosi Muhaimin Biar Jera

MADIUN |SURYA-Sekjen DPP PKB versi Gus Dur, Zannubah Arifah Chafsoh (Yenny Wahid) mengajak seluruh kader dan kostituen PKB yang ada di tingkatan kabupaten dan kota tidak memilih para calon legislatif (Caleg) PKB versi Muhaimin Iskandar untuk DPRD Provinsi maupun DPR RI.

Ajakan penggembosan terhadap Muhaimin Cs itu, menurut Yenny bertujuan untuk membuat efek jera terhadap para politisi PKB yang mengikuti jejak Muhaimin Iskandar.

Selain itu, Yenny mengakui jika saat ini kondisi PKB dalam keadaan tidak stabil dan hal itu akan berlangsung hingga sekitar Tahun 2010 mendatang. Oleh karenanya untuk menyelamatkan suara konstituen dan simpatisan, pihaknya menyarakan DPC PKB untuk melaksanakan koalisi ditingkatan Kabupaten dan Kota.

“Hasil penggembosan ini dapat dilihat pada hasil Pileg 2009 mendatang.Yang jelas strategi kami ini akan efektif untuk menyelamatkan PKB dimasa mendatang. Wong politik itu untuk jangka panjang. Dan kalau kondisi PKB membaik, kami akan langsung bersihkan semua kader PKB yang ada di belakang Cak Imin,” ujar Yenny usai membuka acara Chandidate School Manajemen Kampanye Pemilu Calon Legislatif PKB Kabupaten Madiun di kantor DPC PKB Kabupaten Madiun.

Sementara itu, untuk memenangkan Caleh PKB ditingkatan Kabupaten dan Kota, Yenny menyarankan agar sesama Caleg ditingkatan Kabupaten dan Kota tidak saling kanibalisme dengan jalan merusak, menjelek-jelekkan, dan menggembosi caleg PKB Kabupaten dan Kota yang berasal dari Daerah Pilihan (Dapil) yang sama.
“Ini agar suara PKB semakin meningkat di tingkatan Kabupaten dan Kota. Sebab, kanibalisme internal ini akan menjebak partai besar akan digeser suaranya oleh partai-partai baru,” pungkasnya. st14

Gus Dur Restui Massanya ke PDIP

SEMARANG | SURYA Online - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP Dewan Perwakilan Daerah Jawa Tengah berharap akan tambahan suara dari massa Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) kubu Gus Dur di Jawa Tengah dalam Pemilu Legislatif 2009. Hal itu mengemuka dalam konferensi pers sebelum kegiatan Istighosah yang diadakan PDIP-PKB kubu Gus Dur di Kota Semarang, Minggu (25/1) dimulai.

“Tidak ada target angka, yang pasti kami menginginkan suara terbanyak. Kami yakin karena ‘warisan’ massa Gus Dur di Jateng masih banyak,” ujar Ketua DPD PDIP Jateng Murdoko. Harapan tersebut kelihatannya mendapat sambutan baik langsung dari Gus Dur.

Abdulrahman Wahid selaku Ketua Dewan Syuro PKB yang kalah di pengadilan menyatakan membebaskan pilihan massa pendukungnya untuk menyumbang suara dalam Pemilu Legislatif 2009. Namun, ia juga tidak memungkiri suara dari massanya akan diarahkan ke PDIP.

“Kalau Pak Murdoko mengajak rakyat untuk memilih PDIP supaya dapat suara terbanyak kan tidak salah,” tutur Gus Dur. Amanda Putri Nugrahanti/kcm

Rabu, 18 Februari 2009

Vote Up Vote Down PKB Pro Gus Dur ke PDI-P, Kubu Muhamin Gerah! PKB Pro Gus Dur ke PDI-P, Kubu Muhamin Gerah!

Pengurus PKB Surabaya pro Muhaimin Iskandar gerah juga melihat sepak terjang PKB pro Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang berkoalisi dengan PDIP Surabaya. Bentuk koalisi itu terlihat dari deklarasi yang dihadiri Sekjen DPP PDIP Pramono Anung dan Sekjen DPP PKB pro Gus Dur, Yenny Wahid di sebuah rumah makan di Surabaya, Rabu (14/1/2009).

Tarian Papua Pro Gus Dur


Garda Penyelamat PKB kembali mendatangi kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dengan tarian khas Papua, mereka mendesak PKB cabut surat edaran soal alamat PKB di Jl Sukabumi dan meminta caleg yang ditandatangani Dewan Syuro diterima.

PDIP akan Pertemukan Gus Dur-Mega

MedanBisnis – Surabaya
PDIP Kota Surabaya bakal mempertemukan Gus Dur dan Megawati Soekarnoputri di Surabaya pada 8 Maret 2009, guna menyosialisasikan dukungan PKB ke PDIP kepada masyarakat. Pertemuan kedua mantan presiden ini bertujuan untuk menyolidkan koalisi yang telah dibangun antara PKB pro Gus Dur-PDIP Kota Surabaya.
“Gus Dur masih memiliki banyak pengikut di basis dan diharapkan pada pelaksanaan pemilihan legislatif nanti dapat mendulang suara secara signifikan,” kata Ketua DPC PDIP Kota Surabaya, Saleh Ismail Mukadar, di Surabaya, Minggu (15/2), pada sosialisasi koalisi PDIP dan PKB pro Gus Dur yang dihadiri ratusan kader dari kedua parpol.
Sosialisasi itu juga dihadiri putri Gus Dur, Yenny Wahid dan sejumlah tokoh PDIP dan PKB Jatim, di antaranya Ketua DPW PKB Jatim pro Gus Dur Hasan Aminudin (Bupati Probolinggo), dan Wakil Ketua DPD PDIP Jatim Djarot Saiful HIdayat (Walikota Blitar).
Saleh mengatakan, berdasarkan hasil survei yang dilakukan PDIP, jumlah suara yang disumbangkan PKB pro Gus Dur memang tidak akan sebanyak 2004. “Pada saat itu PKB mampu meraih 11 kursi di DPRD Kota Surabaya. Diperkirakan pada Pemilu 2009 ini PKB akan menyumbangkan 7-8 kursi,” katanya.
Yenny Wahid mengatakan, koalisi yang dibangun bertujuan untuk menyalurkan aspirasi politik konstituen PKB.
“Pada Pemilu 2009 mereka akan menggunakan jalur lain, karena PKB sebagai kendaraan politik saat ini telah digunakan oleh orang lain. Ini koalisi taktis strategis lokal, untuk nasional masih belum,” ujarnya. Dia mengatakan, koalisi tersebut tidak hanya dilakukan dengan PDIP Kota Surabaya, karena juga dilakukan dengan sejumlah partai lain, seperti Gerindra dan PAN di Solo, Bandung, Ciamis dan Tasikmalaya.

Gus Dur: Zipper System Mustahil


INILAH.COM, Jakarta - KPU mewacanakan penentuan keterwakilan 30% perempuan dalam pemilu 2009 dengan sistem zipper, atau setiap 3 caleg terpilih harus ada 1 perempuan. Ketua Dewan Syuro PKB Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menilai wacana tersebut merupakan suatu hal yang mustahil.

"Hal yang nggak bisa dilaksanakan ya itu," kata Gus Dur saat ditemui di ruang kerjanya gedung PBNU, Matraman, Jakarta, Rabu (28/1).

Menurut Gus Dur, lebih baik bangsa ini membiarkan proses keterwakilan berjalan secara normal. Jika perempuan tidak sampai memperoleh sepertiga suara adalah wajar. Namun, lanjutnya, suatu hal yang baik jika perempuan mencapai sepertiga suara.

"Siapa tahu dalam pemilu yang akan datang, keterwakilan perempuan bisa berkompetisi alami dengan porsi yang sama dengan laki-laki," ujar mantan presiden RI ini. [nng/bar]

Diganti, Sekretaris FKB Tanya Gus Dur

INILAH.COM, Jakarta - Posisi jabatan suatu organisasi yang diganti tanpa alasan jelas tentu saja membuat kecewa. Namun tidak bagi Sekretaris Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR RI Anisah Mahfudz, yang mengaku menerimanya dengan lapang dada. Walaupun begitu, ia tetap akan menanyakan hal itu ke KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Ketua Umum Dewan Syuro PKB.

"Secara pribadi saya merasa legowo, karena penggantian semacam itu wajar terjadi di organisasi manapun sebagai bagian dari Tour of Duty," kata Anisah dalam pernyataan tertulis yang diterima INILAH.COM, Jakarta, Kamis (29/1).

Anggota yang berasal dari Kabupaten Malang, Jawa Timur ini mengungkapkan, sebagai bagian tanggung jawab organisasi, pergantian itu tidak mengurangi semangatnya untuk terus bersama-sama anggota FKB yang lain untuk berjuang di FKB.

"Sesuai dengan amanat Muktamar II Semarang di bawah kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum Dewan Syuro dan Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Dewan Tanfidz," tambahnya.

Namun begitu, Anisah juga menjunjung tinggi mekanisme penggantian secara organisasi. Sebab menurutnya, keputusan pergantian seharusnya sepengetahuan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Ketua Umum Dewan Syuro PKB Hasil Muktamar II Semarang bersama-sama dengan Sdr Muhaimin Iskandar sebagai ketua Dewan Tanfidz PKB.

"Untuk itu saya akan menanyakan dulu ke Gus Dur sebagai Ketua Umum Dewan Syuro PKB, apakah sudah pernah diajak bicara oleh Saudara Muhaimin Iskandar dan Lukman Edy tentang perubahan struktur FKB DPR RI. Terlepas dari siapapun yang menggantikan posisi saya," papar Anisah.

Anisah juga mengaku tidak dapat menghadiri rapat fraksi PKB yang dilaksanakan pada Kamis (29/1) sore, karena harus menjalani perawatan kesehatan di rumah sakit MMC hingga Jumat (30/1).

Pro Gus Dur Ingin Dihabisi di DPR


INILAH.COM, Jakarta - Penggantian Sekretaris Fraksi Kebangkitan Bangsa DPR Anisah Mahfudz yang dilakukan tanpa alasan dinilai kubu Pro Gus Dur politis. Penggantian tersebut dianggap merupakan bagian dari upaya pembersihan orang-orang Gus Dur di tubuh PKB.

"Iya betul kita memang melihat ini sebagai upaya pembersihan orang-orang Gus Dur. Yang pasti kita akan melawannya," ujar Bendahara PKB Pro Gus Dur, Aris Junaedi, saat berbincang dengan INILAH.COM, di Jakarta, Jumat (30/1).

Aris menjelaskan, pergantian sekretaris fraksi itu sangat politis. Sebab, berdasarkan rapat fraksi terakhir telah memutuskan bahwa FKB di-status quo-kan (tidak ada perubahan) sampai berakhirnya jabatan anggota DPR. Selain itu, Anisah merupakan salah satu pendukung Gus Dur di FKB.

Pihaknya, kata Aris, akan mengirimkan surat protes atas pergantian tersebut, yang ditujukan kepada Ketua FKB beserta anggotanya, Ketua DPR, dan Wakil Ketua DPR. "Hari ini surat itu kita kirimkan. Ini semua berdasarkan keputusan dari rapat gabungan bersama Gus Dur semalam," jelasnya.

Anisah Mahfudz, sebelumnya mengaku telah menerima keputusan pergantian itu dengan lapang dada. Walau begitu, ia tetap akan menanyakan hal itu ke Abdurrahman Wahid selaku Ketua Umum Dewan Syuro PKB hasil Muktamar Semarang.

PDIP Pilih Gus Dur Daripada Imin


NILAH.COM, Solo - PDIP tidak mengundang PKB yang kini dipimpin Muhaimin Iskandar dalam Rapat Kerja Nasional IV, di Solo, 27-28 Januari 2009. Partai Moncong Putih itu lebih memilih mengundang PKB dari kubu Abdurrahman Wahid.

Ketua Panitia Rakernas IV PDIP Puan Maharani, di Solo, Senin (26/1), mengatakan, PDIP sengaja hanya mengundang Gus Dur dan bukan Muhaimin Iskandar. "Kami memiliki kedekatan dengan Gus Dur, sehingga beliau yang diundang," katanya beralasan.

Ia mengatakan, tidak ada tendensi khusus terhadap tidak diundangnya Muhaimin dalam rakernas ini. "Kami juga memiliki hubungan baik dengan Pak Muhaimin. Namun secara kedekatan kami hanya mengundang Gus Dur agar tidak terjadi permasalahan," kata Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri itu.

Namun, dalam Rakernas yang akan dibuka oleh Megawati itu, lanjutnya, Gus Dur sudah menyampaikan tidak dapat hadir dalam pembukaan pada hari Selasa (27/1). "Sebagai gantinya, beliau kemungkinan akan mewakilkan kepada putrinya Yenny Wahid," jelas Puan.

Sejumlah tokoh yang telah menyatakan kesanggupannya untuk hadir dalam pembukaan rakernas, di antaranya mantan Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono IX, mantan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung, Ketua Dewan Pembina Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subiyanto, serta mantan Ketua MPR Amien Rais.

"Untuk Pak Hidayat Nur Wahid, kami mengundang Presiden PKS Tifatul Sembiring, sebagai pimpinan partai," katanya.[*/nuz]

FKB: Pembersihan Pro Gus Dur Terlalu Jauh

INILAH.COM, Jakarta - Meski penggantian Sekretaris Fraksi Kebangkitan Bangs (FKB) DPR dinilai politis oleh kubu Pro Gus Dur, namun FKB tidak ambil pusing. Sebab, penggantian itu dianggap memang sudah saatnya dilakukan.

"Penggantian itu sudah biasa dilakukan di fraksi. Itu dilakukan untuk memberi kesempatan pada yang lain dalam proses kepemimpinan," kata anggota FKB Nursyahbani Katjasungkana, saat berbincang dengan INILAH.COM, di Jakarta, Jumat (30/1).

Menurutnya, tudingan PKB Pro Gus Dur bahwa penggantian itu bagian dari upaya pembersihan orang-orang Gus Dur merupakan tudingan yang tidak berdasar. "Terlalu jauh kalau dikatakan seperti itu. Yang jelas pegantian itu dilakukan karena Anisah Mahfudz sudah satu tahun lebih menjabat," terangnya.

Bendahara PKB Pro Gus Dur, Aris Junaedi sebelumnya mengatakan bahwa penggantian Anisah merupakan bagian dari upaya pembersihan orang-orang Gus Dur dari tubuh PKB Muhaimin Iskandar.

Sementara Anisah mengaku menerima dengan lapang dada penggantian, karena menurutnya hal yang wajar. Namun, menurutnya, keputusan pergantian seharusnya sepengetahuan Abdurrahman Wahid selaku Ketua Umum Dewan Syuro PKB Hasil Muktamar II Semarang bersama Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Dewan Tanfidz PKB.

Gus Dur Restui Dukungan Yenny ke PDIP


JAKARTA - Mantan Sekjen DPP PKB Yenny Wahid mengatakan, manuvernya untuk mendukung PDIP pada Pemilu 2009 mendatang sudah direstui dan dikomunikasikan dengan Ketua Umum Dewan Syuro DPP PKB KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Dia menyatakan tidak mungkin dirinya menentukan sikap politik tanpa restu dan dukungan ayahnya itu.

"Sikap politik yang saya lakukan seperti mendukung PDIP ini sudah direstui bapak dan tidak mungkin saya melakukan ini tanpa dukungan beliau," tutur Yenny, Kamis 15, Januari 2009.

Namun Yenny tidak keberatan jika ada pihak yang mengatakan dukungannya kepada PDIP merupakan sikap politik pribadinya. Dia menyatakan setiap orang bebas saja menafsirkan langkah politiknya.

"Kalau sikap PKB masih akan menunggu keputusan Silaturrahmi Nasional Alim Ulama dan Muspim PKB di Solo, Februari nanti, itu bukan berarti yang saya lakukan kepentingan politik Saya sendiri. Kalau Gus Dur mendukung, kan bisa jadi di Silatnas nanti tinggal diresmikan dan diputuskan bersama-sama. Ya, kita tunggu saja," tandasnya.(lam)

Yenny Keukeuh Jagokan Gus Dur di Pilpres

JAKARTA - Puteri Ketua Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, yang juga mantan Sekjen PKB Zannuba Arifah Chafsoh alias Yenny Wahid, optimistis kader PKB akan tetap mendukung ayahnya sebagai calon presiden 2009.

"Gerbong boleh Imin, tapi penumpangnya masih tetap mencoblos Gus Dur," ujar Yenny usai mengikuti kongkow bareng Gus Dur di Kedai Tempo, Jalan Utan kayu Jakarta, Sabtu (17/1/2009).

Yenny menegaskan, PKB pro Gus Dur tetap akan mencalonkan Gus Dur sebagai calon presiden PKB. Hal ini sekaligus membantah keikutsertaannya bersama Megawati dalam sejumlah kampenye PDIP di daerah.

"Saat ini keadaannya penumpang (kader PKB) sedang keleleran, namun kita pastikan 2014 bahwa Gerbong itu akan balik ke tangan Gus Dur," tegasnya.

Massa Pro Gus Dur Jadi Rebutan Parpol di Luar PKB

SURABAYA - Pengaruh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, terutama di Jawa Timur (Jatim) tampaknya masih sangat kuat. Apalagi Jatim dikenal sebagai basis warga pengikut Nahdlatul Ulama (NU).

Konflik internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) antara kubu Muhaimin Iskandar dan Gus Dur dikhawatirkan memunculkan massa mengambang di kalangan warga Nahdliyin.

Massa mengambang ini mulai dilirik partai-partai lain terutama yang berbasis massa NU. Meski PKB kubu Gus Dur yang ada di Surabaya telah melakukan koalisi dengan PDIP, hal itu tak menyurutkan langkah partai lain untuk melakukan pendekatan ke massa pro Gus Dur atau melobi Gus Dur secara langsung.

Parpol berbasis NU di luar PKB yang berpeluang jadi saluran politik massa pro Gus Dur, misalnya Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Ketua DPP PKNU Choirul Anam mengatakan, PKNU membuka pintu selebar-lebarnya bagi warga Nahdiliyin untuk menyalurkan pilihan politiknya. "Saya berharap, massa keluarga besar NU beserta badan otonom yang ada di NU mendukung PKNU dalam pemilu nanti. Sejarah kelahiran PKNU sama dengan NU, dilahirkan dari para ulama," katanya di Surabaya, Kamis (5/2/2009).

PPP juga tak ambil diam. Ketua DPP PPP Suryadharma Ali mengakui pihaknya sedang melakukan pendekatan ke Gus Dur. "Prospek PPP di Jawa Timur bagus. Kami juga sedang melakukan pendekatan ke Gus Dur karena massa Gus Dur di Jawa Timur masih besar" tuturnya.

Tidak hanya partai berbasis NU, partai nasionalis lainnya yang berkedudukan di Surabaya juga mulai melakukan pendekatan ke pimpinan DPW PKB dan Garda Bangsa Jawa Timur. Salah satunya adalah Partai Kedaulatan. "Kami juga sedang menjajaki kerjasama dengan Garda Bangsa terutama di Surabaya. Partai Kedaulatan siap menjadi salah satu alternatif saluran politik massa pro Gus Dur," ungkap Ketua DPD Partai Kedaulatan Jatim Subagio.

Menanggapi kemungkinan massa PKB yang lari ke partai lain, Ketua DPW PKB Jatim Imam Nachrawi mengaku tidak khawatir akan hal itu. Dia tetap optimis massa pro Gus Dur tetap memilih PKB dalam pemilu mendatang. Imam juga tidak khawatir dengan koalisi yang digalang PKB kubu Gus Dur dengan PDIP di Surabaya, serta aksi boikot caleg PKB yang digerakkan Garda Bangsa kubu Gus Dur.

"Aksi boikot itu tidak berdampak signifikan baik di Surabaya maupun di kabupaten atau kota lainnya. Gerakan-gerakan seperti itu sudah biasa menjelang pemilu dan dipandang sebagai bagian dari dinamika politik," ungkapnya.

Menurutnya, masyarakat kini sudah cerdas dan pandai memilih. "Kami tetap yakin warga Nahdliyin masih setia pada PKB. Sejarah panjang perjalanan PKB akan dicatat masyarakat dan biarkan masyarakat menilai siapa sebenarnya yang menggadaikan partai," pungkasnya.

PKB pro Gus Dur merapat ke PAN

TEMPO Interaktif, Tegal :Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Pro Gus Dur di Kabupaten Tegal dan sekitarnya berkoalisi dengan Partai Amanat Nasional (PAN) yang diberi nama Koalisi Lokal Amanat Kebangitan Bangsa. Hal ini dilakukan sebagai keterbukaan PKB Pro Gus Dur yang tidak memiliki calon legislator di daerah.

“Kami welcome terhadap partai apapun, termasuk PAN yang sebelumnya telah membangun komunikasi pada momentum politik di tingkat lokal” kata Ketua Dewan Tanfidz, Pimpinan Cabang PKB Kabupaten Tegal, Hamam Miftah di Tegal, Sabtu (7/2).

Menurut dia, koalisi tersebut terbangun karena kedekatan PKB dan PAN di Kabupaten Tegal untuk mensukseskan pemilihan legislatif pada bulan April mendatang.

Hamam, juga menyatakan, koalisi tersebut diharapkan mampu memberikan aspirasi pendukung Gus Dur untuk menemukan calon legislator yang sesuai dengan pilihannya, mengingat pada pada pemilu legislatif 2004 lalu, PKB Kabupaten Tegal meraih 17 kursi.

Sementara itu, ketua Dewan Pembina PAN Daerah IX Tegal, Kabupaten Tegal dan Kabupaten Brebes, Teguh Juwarno, mengaku koalisi PKB dan PAN diwilayah Tegal terjalin melalui proses panjang. Salah satunya, selama ini PAN telah menjalin komunikasi pada momentum pemilihan kepala daerah. “Itu berlanjut pada sekarang saat memasuki pemilihan legislatif” kata Teguh Juwarno.

Ia berharap koalisi ini mampu memberikan tambahan dukungan PAN yang selama ini menjadi pilihan para pemilih pemula.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat PAN, Soetrisno Backhir, menyambut baik terbentuknya koalisi Amanah Kebangkitan Bangsa. Menurut dia, ini sebagai kreativitas kader PAN dalam membangun komunikasi politik tingkat lokal.

“Saya sendiri dekat dengan Gus Dur, jadi koalisi ini wajar” kata Soetrisno Bachir saat memberikan sambutan, dalam acara penandatanganan kesepakatan Koalisi Lokal Amanat Kebangitan Bangsa, di Hotel Plasa, Kota Tegal.

Ia juga berjanji memberikan bonus khusus bagi kader partainya dalam melanjutkan koalisi lokal untuk meraih dukungan partai. “Akan saya beri bonus Rp 250 juta, bagi Caleg DPRD tingklat dua yang mampu mencapai BPP (Bilangan Pembagi Pemilih)” katanya.

Bahkan ia juga memberikan dana tambahan bagi calon legislator DPR RI yang memiliki suara terbanyak senilai Rp 5 miliar.

Rabu, 11 Februari 2009

Yenny Wahid Diperiksa Polda Metro Jaya


Liputan6.com, Jakarta: Di antar ibu dan puluhan pendukungnya, Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid, Selasa (10/2) pagi, mendatangi Direktorat Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metro Jaya. Putri mantan Presiden Abdurrahman Wahid tersebut diperiksa selama satu jam berdasarkan laporan Munarman, terpidana insiden Monas yang merasa nama baiknya dicemarkan.

Namun, Yenny mengaku tak tahu apa yang disebut mencemarkan nama baik Munarman. "Kami bingung polisinya juga bingung. Karena dasar tuduhannya sebetulnya tidak mendasar," kata Yenny. Selain Yenny Wahid, Munarman juga melaporkan beberapa orang lainnya juga dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Munarman yang menjabat sebagai Panglima Komando Laskar Islam pada Oktober 2008 telah divonis satu tahun enam bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Ia dianggap bertanggung jawab atas kasus penyerangan massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Monas, awal Juni lalu

Selasa, 10 Februari 2009

PRO GUS DUR SURABAYA MULAI BEREAKSI

Alhamdulillah sejak Blog Gatara Sawunggaling top up didunia maya. Telah banyak sms ataupun telp bahkan email masuk ke Posko Gatara Sawunggaling. Respon positif yang kami terima ternyata mayoritas mendukung Gerakan Kebangkitan Bangsa (GATARA) dan akan selalu mendukung perjuangan Gus Dur beserta Pendukung Setianya untuk mewujudkan cita-cita perjuangan Gus Dur demi bangsa ini. Meskipun perjuangan itu harus dibayar mahal dengan hujatan, hinaan, bahkan penghianatan-penghianatan yang dilakukan oleh-oleh orang-orang yang dulu ngakunya Pro Gus Dur tapi karena pengahayatan akan perjuangan Gus Dur demi bangsa ini kurang baik maka mereka pada pada loncat kesana kemari seperti kutu loncat (yach...semoga saja tetap jadi kutu atau sekalian jadi kutu busuk!). Respon yang kami terima mayoritas dari ranting-ranting bahkan dari para pengurus ranting. Ayo Gus ! kami siap berjuang bersama panjenengan demi bangsa ini...

Sabtu, 07 Februari 2009

NU-Muhammadiyah Tolak Golput Haram

Banyuwangi (GP-Ansor): Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dan Banyuwangi yang mengharamkan golongan putih (Golput) dalam pemilu tidak diamini jajaran Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) dan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Banyuwangi. Kedua ormas Islam terbesar di Bumi Blambangan itu menilai bahwa pemilu adalah hak politik warga. Jadi, tidak ada alasan untuk mengintervensi warga agar menggunakan hak pilihnya maupun tidak.
“Hak tersebut mau digunakan atau tidak, terserah kepada yang punya hak,” cetus Ketua PDM Banyuwangi Syuhadak kemarin sore.
Warga Desa Glagah Agung, Kecamatan Purwoharjo itu mengaku tidak setuju terhadap fatwa MUI yang menyebutkan golput haram. Apalagi, fatwa golput haram tersebut disampaikan secara terbuka kepada masyarakat luas. “Orang itu jangan ditakut-takuti dengan fatwa-fatwa haram. Lebih baik, lakukan pendidikan politik yang mencerahkan, itu lebih bermanfaat bagi masyarakat,” kritiknya.
Pernyataan senada disampaikan Wakil Ketua PCNU Banyuwangi KH Ali Maki Zaini. Tokoh muda itu mengaku tidak sepakat dengan MUI yang mengharamkan golput. Sebab dalam pandangan PCNU, pemilu adalah sarana untuk memilih pemimpin. “Menurut Imam Al Ghazali, hukumnya adalah fadlu kifayah,” ungkapnya.
Ketika dalam pemilu sudah ada orang yang mengikuti, terang Maki, maka kewajiban masyarakat lainnya menjadi gugur. “Jadi, tidak ada memilih pemimpin itu hukumnya wajib ain (wajib bagi setiap orang, Red),” tandasnya.
Maki mengimbau semua pihak terkait termasuk MUI Banyuwangi, sebaiknya lebih menekankan kriteria caleg daripada memberikan fatwa golput haram kepada masyarakat. Sebab dengan memberikan rambu-rambu tentang kriteria caleg tersebut, masyarakat diajak lebih jeli dalam menilai dan memilih pemimpinnya yang akan duduk di kursi legislatif. Misalnya, MUI menyarankan memilih caleg yang bisa dipercaya dan tidak suka menghujat sesama caleg. “Lebih bagus jika MUI mengajak masyarakat ikut pemilu dengan cara memahamkan bahwa hal itu adalah ibadah fardlu kifayah yang dikerjakan dapat pahala. Daripada mengeluarkan fatwa haram,” sarannya.
Sekadar diketahui, MUI pusat mengeluarkan fatwa bahwa hukum golput dalam pemilu adalah haram. Sedangkan, anggota Komisi Fatwa MUI Banyuwangi Luqman Hakim memberikan kriteria bahwa yang diharamkan adalah golput ideologis. “Yaitu kelompok yang sejak awal memang tidak sepakat dengan adanya pemilu sebagai sarana menyelenggarakan negara,” terang Luqman.

FBR Berang, Demokrat Maklumi Gus Dur

Jakarta (GP-Ansor): Kubu Demokrat tidak merasa heran jika Abdurrahman Wahid alias Gus Dur gemar mengeluarkan pernyataan responsif yang terkadang tidak logis . Sementara Pimpina FBR merasa gerah dengan pernyataan itu.
Sekretaris Fraksi Demokrat, Sutan Bhatoegana siang ini (Selasa, 5/2) berpendapat, menyikapi pernyataan Gus Dur yang menantang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk membubarkan Front Pembela Islam (FPI) dan Forum Betawi Rempug (FBR).
“Ya kita tahu kan siapa Gus Dur. Beliau kan memang seperti itu suka mengeluarkan pernyataan responsif yang terkadang tidak logis,” kata Sutan.
Terkait dengan pernyataan Gus Dur yang menyebut SBY tidak punya nyali membubarkan ormas FPI dan FBR tersebut, ia enteng menjawab, bahwa untuk membubarkan organisasi harus ada dasarnya. Tidak asal dibubarkan begitu saja.
“Tidak bisa seenaknya saja dibubarkan, sekalipun oleh presiden,” katanya. Apalagi menurut Sutan, UUD 1945 saja memberikan kebebasan bagi seseorang untuk berorganisasi.
Lagi pula, katanya Indonesia sebagai negara hukum, membubarkan sebuah organisasi ada mekanismenya. Oleh karena itu, jelas Wakil Ketua Komisi VII DPR ini, jika Gus Dur memiliki bukti-bukti aksi kekerasan yang dilakukan dua ormas tersebut, seharusnya melaporkan ke aparat yang berwajib untuk menindaklanjutinya.
“Sebab pengadilan yang berwenang membubarkan ormas, bukan presiden,” katanya.
Sementara, Ketua Umum Forum Betawi Rempug (FBR) Fadholi El Muhir menilai pernyataan bekas Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang meminta Presiden SBY untuk membubarkan Forum Betawi Rempug (FBR) dan Front Pembela Islam (FBI), cuma cari sensasi belaka.
“Gus Dur sudah tiga kali stroke, udah nggak normal. Ngapain didengar. Tidak ada dasar dan tidak ada bukti,” kata Fadholi, Selasa (5/2), dengan nada berang.
Menurut Fadholi, Gus Dur, tidak hanya memecah belah umat di kalangan FBR dan FPI tetapi juga di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). “Di kalangan nahliyin sendiri Gus Dur adalah pemecah umat,” ujar Fadholi.
Dikatakan Fadholi, Gus Dur sudah tidak populer lagi. Karena itu semua ucapan dan tindakannya tidak perlu dihiraukan lagi. Fadholi juga tidak melihat ucapan Gus Dur itu untuk kepentingan Pemilu 2009.
“Untuk apa didengerin, Gus Dur sudah tidak populer lagi. Ngapain mikiran pemilu,” kata Fadholi yang sempat mencalonkan diri untuk menjadi Ketua Bamus Betawi namun mengundurkan diri.
Seperti diberikan sebelumnya, (Senin, 4/2), Gus Dur di Kantor DPP PKB menantang SBY dan kandidat capres yang akan maju dalam Pilpers 2009 untuk berani membubarkan FBR dan FPI. Bahkan Ketua Dewan Syuro PKB ini dengan nada tinggi menyatakan hanya dirinyalah yang mampu membubarkan dua organisasi massa itu.
“FPI dan FBR harus segara dibubarkan. Karena sudah nggak bener lagi,” kata Gus Dur di acara jumpa pers di Lembaga Pemenangan Pemilu DPP PKB, Kalibata, Jakarta, Senin (4/2).
Calon presiden dari PKB itu mengaku tidak habis pikir mengapa pemerintahan SBY-JK takut untuk membubarkan dua organisasi tersebut. “Kenapa SBY takut?” ujarnya
Menurut mantan Ketua Umum PBNU ini, orang yang paling bertanggung jawab terhadap berdirinya FPI di antaranya bekas Pangdam Jaya Djaja Suparman, bekas Menhankam dan Panglima ABRI Wiranto dan bekas Kapolda Metro Jaya Nugroho Djajusman.
“Pada waktu itu Sutanto (Kapolri) adalah Wakapolda dan yang melaksanakannya adalah Kivlan Zein (bekas Kepala Staf Kostrad),” kata Gus Dur.
Sedangkan FBR didirikan oleh tokoh Betawi Edi Nalapraya. Tujuan ormas ini berdiri, menurut bekas presiden kedua RI itu, untuk kepentingan intelijen LB Moerdani. “Ini harus segera disudahi,” ujarnya.
Oleh karena itu, Gus Dur minta dengan tegas agar aparat hukum segera membubarkan dua ormas itu. Kata dia, jika masih dibiarkan tumbuh dengan bebas maka masyarakat akan menjadi bulan-bulanan pihak FPI dan FBR. “Pembubaran dua ormas itu untuk menegakkan supremasi hukum dan keadilan” ujarnya.

Anggota PKB Bakar Atribut Partai


Liputan6.com, Jombang: Sejumlah pengurus dan anggota Anak Cabang Partai Kebangkitan Bangsa Diwek, Jombang, Jawa Timur, membakar atribut PKB. Ini sebagai pelampiasan kejengkelan para pendukung setia Abdurrahman Wahid terhadap Ketua Dewan Pertimbangan Partai PKB Muhaimin Iskandar.

Atribut yang dibakar antara lain kartu anggota PKB, surat keputusan pengangkatan, serta baju PKB yang dipakai. Menanggapi aksi pembakaran tersebut, Muhaimin Iskandar malah menuduh ada partai lain yang sengaja mengacau di tubuh PKB.(YNI/Bambang Ronggo)

Jumat, 06 Februari 2009

Gus Dur Tolak Fatwa Golput


JAKARTA, SELASA — Mantan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur menyatakan penolakannya terhadap keluarnya fatwa MUI terkait larangan bagi umat Muslim untuk tidak bersikap golput, atau tidak berpartisipasi pada Pemilu 2009.

"Saya menolak sikap beberapa orang atau yang mengatasnamakan institusi MUI yang mengeluarkan fatwa haram bagi yang tidak memilih dalam Pemilu 2009. Alasan saya, hingga kini KPU tidak bekerja dengan baik bahkan melakukan kecurangan," tandas Gus Dur dalam pernyataannya kepada para wartawan, Selasa (27/1).

Contoh saja, menurut Gus Dur, dalam pilkada di Jatim, jumlah pemilih yang dipanggil semestinya 42 juta orang, tetapi yang dipanggil hanya 15 juta orang. Hal ini, tentu akan terjadi dalam Pemilu 2009.

"Ini karena sosialisasi pemilu yang amburadul. Jika penyelenggara pemilu telah ceroboh dalam bekerja, lalu bagaimana nasib demokrasi bangsa kita ke depan? Untuk itu, saya tetap bersikap memboikot pemilu untuk tidak memilih. Kita ini sedang diuji untuk belajar berdemokrasi. Jadi, beda pendapat adalah hal yang biasa," kata Gus Dur.

Gus Dur Takut Tua


SEMARANG, MINGGU - KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengaku ketakutan karena usianya terus bertambah tua.

"13 hari lalu, saya mengalami ketakutan dalam diri saya karena sudah tua. Wis tuo, 68 tahun umure (sudah tua, 68 tahun umur saya- red)," kata Gus Dur setelah memberikan arahan di hadapan ratusan kader dan simpatisan PDIP di Kantor Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDIP Jateng di Jalan Brigjen Soediarto Semarang, Minggu (25/1).

Gus Dur mengatakan, karena usia lanjut tersebut, dirinya mengaku tidak berani macam-macam termasuk saat ada permintaan dari para sesepuh agar dirinya kembali mencalonkan diri menjadi calon presiden pada Pemilu 2009.

"Saya memperlakukan harapan itu dengan main-main. Syukur kalau diterima jadi calon. Kalau tidak jadi tidak pate'en (tidak masalah-red)," katanya.

Mantan Presiden ini mengaku, di usia 68 tahun ia merasa dirinya serba enak. "Umur 68 tahun, rumah bagus sekali dan mangku (menimang-red) cucu. Jadi sudah senang," katanya.

Ia menceritakan, selain bisa memangku cucu, banyak orang di daerah datang ke rumahnya untuk meminta barokah. "Alhamdulillah mau mampir ke rumah saya. Sudah saya bilangin, tapi mereka masih saja bawa ketan, bawa ini itu, ya sudah. Jadi alhamdulillah, hidup pada akhir-akhir ini enak sekali, ayem sekali," katanya.

Ditanya apakah dirinya masih mempertahankan untuk boikot Pemilu dengan tidak menyalurkan hak suara, Gus Dur mengaku arahan tersebut masih berlaku. "Kita lihat saja nanti. Kalau dihalangi jadi calon presiden, ya jadi boikot Pemilu," kata Gus Dur.