Senin, 15 Desember 2008

Gus Dur mengenai Pancasila dan Islam: Sejak Dulu Menghormati Pluralisme


Perspektif Wimar
02 June 2008

Oleh: Didiet Adiputro

Nilai-nilai Kebhinnekaan, toleransi dan pluralisme yang menjadi salah satu esensi dari Pancasila, ternyata sudah dipraktekan jauh sebelum Negara kita merdeka, bahkan sebelum pancasila itu sendiri disusun. Mantan Presiden RI Abdurrahman Wahid yang menjadi narasumber di Perspektif Wimar kali ini mencoba mengungkapkan kembali pentingnya semangat toleransi dan pluralisme dalam perjalanan bangsa.

Mengenai sikap saling menghargai diantara para pendiri bangsa, Gus Dur menceritakan pada tahun 1919 ada tiga orang sepupu yang suka berkumpul. Mereka adalah H.O.S Cokroaminoto (mertua Bung Karno), KH. Hasyim Ashari (Pendiri NU) dan KH. Abdul Wahab Hasbullah (Pendiri NU). Saat itu mereka sering mendiskusikan tentang Islam dan nasionalisme. Sehingga kedua paham yang berbeda ini tidak saling dipertentangkan satu sama lain. ”dulu orang bisa ngobrol erat sekali walaupun beda aliran politiknya”, ujarnya

Ini berlaku juga dalam menyikapi bentuk negara yang ideal, dimana pada tahun 1935 dalam muktamar NU di Banjarmasin telah dibuat keputusan yang menyatakan kalau warga NU tidak harus mendirikan negara Islam jika ingin melaksanakan syariat Islam. Jadi bisa terlihat kalau dari dulu kelompok Islam sudah menghormati pluralisme. Sehingga Gus Dur pun mengakui kalau pluaralisme adalah gelombang dari masa depan.

Jika berkaca pada kasus Ahmadiyah, kebebasan beragama dan berkeyakinan yang diatur dalam konstitusi kita tampaknya belum sepenuhnya bisa dipahami oleh semua kalangan. Menurut Gus Dur, Ahmadiyah harus dibiarkan hidup meskipun fatwa sesat sudah meluncur dari MUI.

Karena bagi mantan Ketua PB NU ini, MUI hanya salah satu ormas Islam biasa yang selama ini mendapat wibawa besar sebagai kompensasi dari tidak boleh berdirinya negara Islam. Gus Dur juga yakin kalau organisasi yang fundamental dan sektarian akan merumuskan pengetian nasionalismenya masing-masing, karena UUD kita sangat nasionalistik.

Menurut Gus Dur, justru sekarang malah pemerintah yang takut pada MUI. ”MUI dan Departemen Agama harus diganti dengan orang yang kelakuannya waras”, ujar pendiri The Wahid Institute ini.