Minggu, 07 Desember 2008

Golput, Siapa Takut?


Oleh Nasikun

MENGAPA takut golput? Seakan kita baru saja mengalami mutasi menjadi insan-insan politik modern yang peduli dan mampu membedakan mana praktik-praktik politik rasional yang memperjuangkan kepentingan masyarakat luas dan mana praktik- praktik politik irasional yang hanya memperjuangkan kepentingan-kepentingan pribadi dan kepentingan-kepentingan kelompok yang sempit ketika di dalam kenyataan kita masih "panggah" menjadi insan-insan politik" seperti yang dulu": primitif dan tidak memiliki wawasan kebangsaan yang kuat?

Mengapa mengira suara golongan putih (golput) dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 akan bertambah cukup berarti dibandingkan dengan yang terjadi pada pemilu-pemilu yang lalu ketika kita mengetahui benar bahwa kelas menengah Indonesia yang kita harapkan memiliki kemampuan berpikir kritis ternyata terpecah-belah oleh beragam orientasi ideologis dan kepentingan-kepentingan sempit?

Mengapa menduga banyak orang akan menjadi golput pada Pemilu 2004, seolah kita percaya bahwa melalui keberhasilan kita menurunkan Soeharto dari kursi presiden yang ia duduki selama lebih dari 30 tahun telah berhasil pula membangun sebuah sistem politik yang rasional (rational politics), ketika di dalam kenyataan kehidupan politik kita sejauh ini terbukti semakin mengukuhkan dan menyemaikan sebuah sistem politik kesukuan (ethnic politics) yang kita bangun sejak era kolonial?

Maaf, jikalau saya terlalu cynical terhadap mereka yang percaya bahwa suara golput pada Pemilu 2004 akan meningkat cukup berarti. Boleh jadi saya keliru. Akan tetapi, sejauh ini saya tidak melihat adanya cukup alasan untuk membuat perkiraan akan meningkatnya jumlah suara golput pada Pemilu 2004. Angka mereka yang memilih menjadi pendukung golput sangat boleh jadi memang akan meningkat, tetapi tidak akan terlalu berarti.

Dalam perhitungan, atau lebih tepat spekulasi saya, jumlah suara mereka pada Pemilu 2004 paling tinggi hanya akan mencapai angka yang pernah dicapai pada Pemilu 1955 yang dikenal paling "luber" dan paling demokratis, yakni sekitar 12 persen (atau naik sekitar 2 persen dari suara golput yang dicapai pada Pemilu 1999 yang hanya mencapai angka 10 persen). Itu pun jikalau kita memasukkan jumlah suara yang tidak sah karena berbagai alasan sebagai suara golput.

ARGUMEN tentang kemungkinan kenaikan suara golput yang cukup besar pada pemilu yang akan datang hanya dapat diterima jikalau kita mengandaikan bahwa dalam kurun waktu yang sangat pendek menyusul jatuhnya rezim pemerintahan Orde Baru kita telah berhasil mentransformasikan sistem politik Indonesia menjadi sebuah sistem politik rasional yang berkembang di atas basis kelas sosial yang "tebal" dan "independen". Argumen yang demikian jelas tidak memiliki pijakan teoritis dan empiris yang kokoh. Oleh karena itu, hal itu tidak dapat dijadikan dasar untuk membuat perhitungan tentang apa yang akan terjadi pada Pemilu 2004.

Hasil penelitian para ahli ilmu politik Indonesia maupun para Indonesianis memperlihatkan dengan sangat jelas bahwa sampai dengan Pemilu 1999 sistem politik kesukuan atau aliran masih sangat kuat mewarnai kehidupan politik di Indonesia (baca: a.l., Dahm, 1974; Gaffar, 1992a dan 1992b; Lay, 1974; Mackie, 1974; Surbakti, 1974; dan Mallarangeng, 1997). Indikasinya sangat jelas bahkan masih dapat kita baca di atas permukaan kehidupan politik kita sampai saat ini. Masih jelas di dalam ingatan kita, misalnya, betapa koalisi kekuatan-kekuatan politik yang menghadirkan dan kemudian menjatuhkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden merupakan koalisi kekuatan-kekuatan politik kesukuan atau aliran.

Kalkulasi saya bahwa kenaikan suara golput pada Pemilu 2004 tidak akan cukup berarti saya bangun di atas tesis bahwa golput masih merupakan suatu "makhluk" yang asing di dalam sebuah sistem politik kesukuan atau aliran. Di dalam bentuknya seperti yang dikenal dalam tradisi perpolitikan yang berkembang di negara-negara maju, golput tidak dikenal, atau lebih tepat tidak populer di dalam sebuah sistem politik kesukuan atau aliran seperti yang selama ini berkembang di Indonesia.

Berbeda dari yang terjadi di dalam sistem politik rasional yang berkembang di negara-negara maju, di mana munculnya politik golput memiliki basis sosialnya di atas pertumbuhan industrialisasi dan berkembangnya lapisan tebal kelas menengah yang "independen", kehadiran politik golput di dalam sistem politik kesukuan atau aliran di Indonesia selama ini tidak memperoleh dukungan dari berkembangnya proses industrialisasi dan lahirnya suatu lapisan kelas menengah yang cukup tebal dan "independen".

Jikalau kehadiran lapisan kelas menengah sudah terjadi juga, jumlah mereka bukan hanya belum cukup berarti, tetapi juga terpecah belah oleh beragam orientasi ideologis, dan lebih dari semua itu, tidak memiliki ciri-ciri suatu kelas menengah yang diperlukan bagi berkembangnya politik golput.

UNTUK memahami hal itu kita hanya perlu membaca lembaran-lembaran berita surat kabar, tabloid-tabloid "berwarna", dan majalah-majalah semi-ilmiah yang dengan mudah dapat dibeli dari pedagang-pedagang kaki lima, kendati mereka yang menginginkan analisis yang lebih serius dapat menemukan dan membacanya dalam berbagai karya ilmiah para ahli ilmu politik dari mancanegara maupun bangsa sendiri (baca: misalnya, Richard Tanter dan Kenneth Young, tentang The Politics of Middle Class in Indonesia, 1990 yang memuat koleksi belasan makalah dari sebuah konferensi yang diselenggarakan the Centre of Southeast Asian Studies di Universitas Monash, Australia, bulan Juni 1986).

Sebagaimana diketahui, tiadanya lapisan cukup tebal kelas menengah yang "independen", kehidupan politik di Indonesia sampai saat ini masih sangat kental ditandai dengan ciri-ciri berikut. Pada sisi sistem kepartaian yang berkembang di Indonesia selama ini, semua partai politik peserta pemilu memiliki ciri sebagai organisasi-organisasi yang bersifat "patrimonial" dan "hegemonik" yang legitimasinya bersumber di dalam kekuasaan "ideologis" yang dibangun melalui keunggulan kualitas kepribadian atau karisma yang istimewa para pemimpin mereka.

Pada sisi konstituen pendukung mereka, semua parpol peserta pemilu di Indonesia pada umumnya memperoleh dukungan mereka dari para pemilih Die Hard atau True Believers, yang menjatuhkan pilihan politik mereka bukan atas dasar pertimbangan-pertimbangan rasional berdasarkan tawaran-tawaran program yang diajukan oleh parpol yang mereka pilih, melainkan atas pertimbangan-pertimbangan emosional berdasarkan ikatan-ikatan primordial, seperti agama, ras, etnisitas, atau ikatan-ikatan kekerabatan, ikatan-ikatan kedaerahan dan sejenisnya dengan para pemimpin parpol yang mereka pilih. Hebatnya, jumlah mereka menurut perhitungan saya masih berkisar antara 80 hingga 90 persen dari seluruh pemilih tiap partai politik.

Akan tetapi, bagaimana dengan carut-marut kehidupan parpol dan tingkah laku para pemimpin mereka yang terjadi akhir-akhir ini? Tidak mungkinkah semua itu akan memiliki pengaruh pada kenaikan suara golput dalam pemilu yang akan datang? Seperti yang sudah saya katakan di atas, semua itu memang dapat memiliki pengaruh pada kenaikan suara golput dalam Pemilu 2004 yang akan datang, tetapi pengaruhnya tidak akan terlalu berarti karena sebagian besar pemilih partai politik akan tetap bersikap dan bertindak sebagai pemilih-pemilih Die Hard atau True Believers, yang akan memilih partai politik masing-masing oleh alasan yang sangat sederhana: secara ideologis partai politik lain merupakan "ancaman" bagi eksistensi ideologi dan kepentingan mereka.

Sementara itu, keputusan untuk menjadi pendukung golput hanya akan memberikan peluang bagi kemenangan parpol lain yang akan menentukan kebijakan-kebijakan publik yang merugikan kepentingan mereka. Jikalau perpecahan yang terjadi di dalam tubuh banyak parpol akhir-akhir ini telah menyebabkan kekecewaan para pendukung mereka, kekecewaan itu tidak akan mereka ekspresikan dalam bentuk pilihan suara golput, melainkan pada pilihan suara bagi parpol baru yang dihasilkan oleh perpecahan tersebut.

KESIMPULAN itu membawa kita pada pertanyaan lain yang tidak kalah menarik: parpol mana yang akan paling dirugikan oleh kemungkinan naiknya suara golput? Jawabnya akan sangat bergantung pada jawaban atas pertanyaan tentang dari lapisan atau kelompok sosial mana para pendukung golput paling mungkin berasal? Seperti sudah tersirat dalam uraian saya di atas, mereka terutama akan berasal dari lapisan dan/atau kelas menengah yang berpendidikan tinggi, profesional, dan memiliki basis sosial kehidupan perkotaan.

Dengan kata lain, parpol yang akan menuai kerugian paling mahal adalah parpol-parpol yang selama ini memiliki basis kelas sosial menengah yang berpendidikan cukup tinggi, profesional, dan memiliki gaya hidup urban dan modern yang relatif cukup luas. Untuk menunjuk partai mana saja yang memenuhi semua kriteria itu memang tidak mudah. Bahkan, Partai Golkar, PDI-P, dan PAN yang sering mengaku atau dinilai bukan merupakan parpol aliran, di dalam kenyataannya masih sangat sarat dengan ciri-ciri dan perilaku parpol kesukuan atau aliran.

Apakah keadaan yang sama akan berlaku pula bagi pemilihan presiden dan wakil presiden yang akan datang? Oleh alasan yang yang sama, saya memperkirakan suara golput dalam pemilihan presiden dan wakil presiden bahkan akan jauh lebih kecil dibandingkan dengan suara golput dalam pemilu yang akan datang. Berbagai kebijakan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden maupun sebagai ketua partai sangat boleh jadi memang telah mengecewakan banyak pendukungnya di lingkungan PDI-P, dan karenanya sangat boleh jadi akan menurunkan perolehan suara PDI-P.

Akan tetapi, meninggalkan pilihan untuknya sebagai calon presiden dan menyerahkannya kepada calon presiden yang lain? Jawabnya, menurut kalkulasi saya tidak akan mereka lakukan. Karena keputusan yang demikian akan menuntut terlalu banyak pertimbangan dan perhitungan. Alasannya sangat sederhana: memberikan kursi presiden kepada calon presiden yang lain hanya akan merupakan ancaman bagi eksistensi ideologi dan kepentingan politik mereka. Alasan yang sama berlaku pula bagi para konstituen Amien Rais dan calon- calon presiden yang lain

Jadi, mengapa harus takut kepada golput?

Nasikun Dosen Jurusan Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Ketua Divisi Penelitian Pusat Studi Sosial Asia Tenggara, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta