Selasa, 16 Desember 2008

Golput Bukan Urusan Agama

Oleh: Moch Nurhasim, S.IP, M.Si
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI di Jakarta

Perdebatan tentang golongan putih (golput) tampaknya sudah memasuki ranah agama. Sebelumnya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengimbau kader PKB agar memilih cara golput pada Pemilu 2009 karena merasa telah dizalimi KPU.

Bahkan status hukum golput menjadi perdebatan kalangan ulama Islam.Beberapa kiai NU di Jawa Timur memberi hukum fardu kifayah, sementara beberapa kader PKB Gus Dur memberi hukum wajib. Kader PKB Gus Dur Ketua Dewan Syura DPW PKB Jatim Fuad Amin Imron mengharamkan kadernya memilih caleg dari PKB Muhaimin Iskandar. Ada pula PKS melalui Hidayat Nur Wahid mengidentikkan golput dengan mubazir dan sesuatu yang mubazir itu hukumnya haram.

Saya teringat peristiwa sejarah masa lalu ketika era 1970-an akhir hingga 1980-an. Waktu itu saya yang masih kecil hidup di tengah-tengah keluarga Nahdlatul Ulama (NU) di Lamongan. Semasa itu muncul fatwa dari beberapa kampanye bahwa mencoblos PPP itu hukumnya wajib dan haram untuk mencoblos partai yang lain. Kisah seperti ini sering diungkapkan beberapa keluarga saya bahwa ada fatwa ulama lokal dalam setiap kampanye soal hukum mencoblos partai politik. Kini, fatwa dan pandangan semacam ini muncul kembali.

Terlepas dari perdebatan hukum agama, saya memandang bahwa golput adalah suatu pilihan politik dan golput tidak ada urusannya dengan agama. Mengaitkan golput dengan agama hanyalah kerjaan elite politik yang gagap, waswas, dan bimbang karena mereka takut tidak memperoleh dukungan politik dari rakyat. Karena itu, golput menjadi sasaran ”fatwa” para penafsir agama. Ini merupakan bentuk politisasi agama menjelang Pemilu 2009.

Golput adalah Hak, Bukan Kewajiban
Bagaimana seharusnya elite politik memandang golput? Dalam sejarah politik Indonesia, golput adalah sebuah gerakan sosial-politik dari kalangan intelektual dalam memahami dan menyikapi perubahan politik yang sedang terjadi.

Golput menjadi hak bagi mereka yang tidak menggunakan politiknya karena rezim dinilai gagal memberikan calon-calon alternatif dan partai politik dianggap sebatas kepanjangan tangan dari rezim otoriter. Dalam ranah gerakan, kehadiran golput adalah sikap politik untuk melawan rezim dan para elite politik yang hanya memikirkan dirinya sendiri. Golput lahir dari suasana kekecewaan, frustrasi politik karena pemilu hanya menghadirkan sosok-sosok pemimpin yang korup dan perilaku politik yang mementingkan diri sendiri.

Semangat tersebut merupakan salah satu faktor yang melatarbelakangi munculnya golput. Karena itu, bagi mereka golput adalah hak, bukan kewajiban. Sementara bagi pihak-pihak yang mengklaim golput itu haram, mubazir, dan sebagainya menilai bahwa hak untuk memilih (menggunakan suaranya) adalah kewajiban.

Padahal kita tidak mengenal istilah compulsary vote (kewajiban memilih) seperti yang diterapkan dalam pemilu Australia. Konsekuensi bahwa hak pilih bukan kewajiban, tetap hak, maka penunaian hal itu tergantung rakyat. Selama ini ada ungkapan suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei). Saya kira, kata ini sudah mengalami distorsi karena dalam praktik demokrasi di negeri ini, rakyat hanya menjadi objek dan instrumen kepentingan.

Kepentingan rakyat tidak menjadi kepentingan utama untuk diperjuangkan oleh partai-partai politik. Dalam konteks itulah demokrasi mengalami gugatan. Orang mulai acuh tak acuh dalam memilih pemimpin karena mereka mulai cerdas. Memilih siapa pun, tidak ada hukum timbal baliknya. Apakah dengan memilih partai yang bersih, calon anggota DPR yang cerdas sekalipun, timbal baliknya kesejahteraan mereka akan dipenuhi? Ketika rakyat awam mempertanyakan itu, yang terjadi adalah defisit demokrasi.

Demokrasi justru digugat karena dianggap terlalu asyik dengan prosedur-prosedur, tetapi melupakan substansinya. Pertanyaan mulai muncul dari kalangan rakyat, dengan biaya untuk memilih yang begitu mahal, mengapa kehadiran sistem demokrasi yang kita anut tidak menghasilkan kesejahteraan bagi rakyatnya? Apa bedanya seorang yang dipilih secara langsung dengan sistem perwakilan? Mengapa kinerja para elite justru mengarah pada kenyataan yang jauh panggang dari api?

Fenomena Demokrasi
Inilah fenomena demokrasi yang sedang kita hadapi. Ketika pemilik kedaulatan itu semakin cerdas, mereka menggunakan ”kedaulatannya” sebagai alat bargaining power.

Salah satu bentuknya yang paling mudah adalah tidak bersedia datang ke TPS untuk menggunakan suaranya. Mereka menyadari bahwa suara mereka berharga, tetapi dalam realitas sering diselewengkan sehingga tidak dapat berkontribusi dalam membenahi sistem politik nasional yang karut-marut. Pengaruh beritaberita televisi misalnya turut menentukan orientasi politik pemilih. Karena itu, fatwa haram dan halal bukanlah cara yang cerdas yang dilakukan elite politik.

Demokrasi menghendaki kerja-kerja politik yang terstruktur, terarah, dan pada akhirnya memiliki manfaat kepada pemilih. Jika elite gagal mendialogkan manfaat dalam bernegara kepada publik, tidak menutup kemungkinan golput—dalam pengertian orang mulai enggan untuk datang ke TPS––akan terjadi pada Pemilu 2009.

Kecenderungan golput yang semakin meningkat pada beberapa kasus pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan bukti bahwa sebagian pemilih mulai enggan menggunakan hak suaranya. Mereka berpikiran sederhana, apa manfaat mereka terlibat dalam politik ketika para pemimpin yang terpilih tidak mengindahkan penderitaan yang mereka alami?