Minggu, 07 Desember 2008

Golput, Bagian dari Demokrasi


Oleh Hendardi

SEJUMLAH kalangan yang bergerak dalam politik partai dan terlibat dukung-mendukung, termasuk beberapa kalangan LSM, demi memuluskan harapan perebutan kursi kekuasaan negara (state power) menganggap pilihan politik untuk tidak memilih-lebih populer dengan sebutan golongan putih (golput) -sebagai pilihan yang tidak berguna dan tak bertanggung jawab.

Anggapan itu hanya membenarkan bahwa menggunakan hak pilih dalam pemilihan u- mum adalah satu-satunya pilih- an yang berguna dan bertanggung jawab. Hal ini jelas mere- duksi demokrasi hanya semata-mata demi memperebutkan kekuasaan dalam lembaga- lembaga negara (eksekutif dan legislatif). Anggapan reduksionis inilah yang dapat menimbulkan sesat pikir dalam menentukan suatu pilihan politik.

Rasionalitas golput

Terlebih dulu perlu dikemukakan bahwa golput juga suatu pilihan politik yang rasional. Bagaimana rasionalitas golput ini dapat kita jelaskan secara lebih jernih?

Pertama, pilihan golput harus dilihat sebagai upaya membuka ruang kebebasan pemilu yang lain. Memilih atau mencoblos suatu partai atau calon presiden bukanlah satu-satunya pilihan. Warga negara-dengan bersikap golput-membuka suatu ruang lain dalam mengekspresikan pilihannya untuk tidak memilih partai atau calon presiden apa pun.

Kedua, munculnya golput di Indonesia pada awal dasawarsa 1970-an adalah ekspresi sikap kritis Arief Budiman dan kawan-kawan atas penguasa ne- gara yang otoriter. Mereka memalingkan muka dari pelaksanaan pemilu. Kini, adanya suara golput juga patut diposisikan sama seperti sebelumnya terha- dap mereka yang terlibat dalam perebutan kekuasaan negara.

Ketiga, menyimak perilaku politisi dalam lima tahun terakhir, baik di parlemen maupun pemerintahan di pusat dan daerah, telah banyak mengecewakan warga negara yang sebelumnya memilih mereka. Sebagian warga telah mampu menyimpulkan, elite politik dalam kampanye pemilu tak lebih dari menabur janji dan menelan janji mereka setelah terpilih. Dari sinilah rasionalitas golput menemukan jawabannya.

Keempat, dengan sedikit evaluasi dari aturan main, penyelenggaraan dan peserta pemilu, banyak kelemahan yang terjadi tanpa pertanggungjawaban politik, apalagi hukum. Atas dasar ini, golput memalingkan suara untuk tak memberikan kepada calon-calon yang akan duduk pada lembaga-lembaga negara, bahkan "demokrasi versi elite negara".

Kelima, tak jarang pula dalam menyerang golput, bebera- pa kalangan "menjual" omongan mengenai keharusan untuk memilih "yang terbaik dari yang terburuk". Atas keharusan ini, golput perlu dibaca sebagai sikap mengambil jarak dari pikatan para juru kampanye tersebut. Di sinilah arti pentingnya dengan mempertahankan ruang-ruang lain yang tak selalu tunggal (one dimensional).

Golput bukanlah sesuatu yang khas Indonesia. Negeri- negeri demokrasi seperti Amerika Serikat (AS), Perancis, Jerman, dan Inggris sangat terbuka ruang kebebasannya bagi golput. Bahkan pada pemilu Parlemen Eropa baru-baru ini, mereka yang golput telah meningkat ketimbang sebelumnya.

Bukan hadiah penguasa

Pandangan reduksionis mengenai demokrasi bahwa setiap orang harus memilih mendukung calon-calon tertentu, pada dasar menunggalkan pilihan dan ruang kebebasan lain. Seolah-olah setiap warga negara digiring untuk diserap dalam perebutan kursi dalam kekuasaan negara. Sebaliknya, kita dituntut lupa bagaimana perilaku negara dan penguasa atas mereka yang telah memilih.

Pandangan reduksionis itu tak lagi memandang penting integritas seseorang yang berusaha bertahan dengan pilihan politiknya yang berbeda tanpa harus menggadaikan integritasnya. Golput dapat menjadi pilihan yang menantang tawaran memilih dalam pemilu untuk membuktikannya. Apakah penguasa baru kelak bisa membuktikan janji yang ditaburkan ataukah kembali mengulangi ingkar?

Namun, bukankah kekuasaan negara itu cenderung korup dan melanggar hak-hak asasi manusia? Kalau begitu, mengapa golput direcoki agar segera lengket pada upaya melegitimasi kekuasaan negara tersebut? Mengapa upaya mengambil jarak atas kekuasaan negara dituduh berbahaya dan tak bertanggung jawab?

Selain itu, sering dilupakan bahwa demokrasi bukanlah "hadiah" penguasa negara. Penguasa tak jarang bermuka dua. Kadang bermuka manis untuk meraih dukungan luas, kadang pula berlaku murka akibat tuntutan dari bawah. Begitu pula pada masa kampanye, setiap calon selalu bermuka manis, tetapi hanya untuk sementara, setelah itu mereka akan kembali menjalankan sistem yang ada.

Selama puluhan tahun, banyak orang mengalami represi politik dari penguasa Orde Baru sebelum gelombang protes 1998 mengakhirinya. Namun, penguasa berganti pun belum cukup menjamin negara mengurangi watak korupnya.

Dengan mengingat hal itu, kiranya jelas bahwa kekuasaan negara harus dikontrol. Golput hanyalah salah satu sarana untuk mengontrolnya atas pelaksanaan pemilu. Lebih dari itu, perjuangan demokrasi bukan hanya dalam putaran lima tahun sekali, melainkan perjuangan setiap hari. Dan pada situasi lemahnya "masyarakat warga", mengambil jarak-bersikap independen-terhadap kekuasaan negara menjadi semakin relevan.

Hendardi Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI)